- Susu ikan menjadi istilah baru yang langsung populer, mengikuti produk susu yang sudah ada sebelumnya. Misalnya susu sapi, susu kambing, juga susu kedelai.
- Susu ikan adalah branding dari inovasi produk turunan hidrolisat protein ikan [HPI]. Penamaan susu ikan dimaksudkan agar mudah dikenal dan dikonsumsi masyarakat. Jadi, bukan dalam arti susu yang sebenarnya.
- Masih banyaknya hasil laut yang terbuang dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Untuk itu, jangan dijadikan alasan untuk melakukan
- Memberikan makanan atau minuman yang berasal dari HPI sebagai langkah kurang tepat. Produk buangan yang tidak layak dikonsumsi manusia, jangan diberikan untuk manusia.
Susu ikan menjadi istilah baru yang langsung populer, mengikuti produk susu yang sudah ada sebelumnya. Misalnya susu sapi, susu kambing, juga susu kedelai. Susu ikan ini, dinarasikan sebagai minuman bernutrisi tinggi yang bisa menggantikan susu sapi dalam program makan gratis di sekolah-sekolah Indonesia.
Apakah susu ikan itu?
Budi Sulistiyo, Dirjen penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, menyebutkan bahwa susu ikan adalah branding dari inovasi produk turunan hidrolisat protein ikan [HPI]. Penamaan susu ikan dimaksudkan agar mudah dikenal dan dikonsumsi masyarakat.
“Jadi, bukan dalam arti susu yang sebenarnya,” terang Budi, dalam pernyataan kepada media, Kamis [12/9/2024].
HPI sebagai bahan utama susu ikan, menurut Budi memiliki karakteristik yang multifungsi sekaligus praktis. HPI bisa diwujudkan dalam berbagai makanan seperti kue, cilok, roti, dan aneka jenang yang semuanya tinggi protein.
- Advertisement -
“Jadi, tidak hanya minuman berprotein atau yang kita kenal dengan susu ikan, tapi HPI bisa digunakan sebagai bahan tambahan pangan ke beragam makanan sehari-hari,” terangnya.
Baca: Polemik Program Makan Bergizi: Benarkah itu Susu Ikan atau Kecap Ikan?
lustrasi susu ikan. Gambar ini diproduksi oleh kecerdasan buatan (AI) Freepik Picasso
Teknologi pangan
Kemajuan teknologi dalam bidang pangan memungkinkan kita memaksimalkan manfaat bahan pangan. Namun juga, memunculkan problem etis terkait kesehatan, aksesibilitas pangan, kesejahteraan hewan, juga lingkungan. Butuh pertimbangan matang atas kebijakan menyangkut pangan.
Salah satu cara memaksimalkan manfaat bahan pangan yaitu dengan mengubah menjadi HPI, yaitu satu produk dari ikan yang dibuat dengan metode hidrolisat protein atau pemecahan protein menjadi bagian yang lebih kecil. Biasanya menggunakan larutan enzim, asam, atau alkalin.
Mengutip artikel di jurnal International Aquatic Research [2018], salah satu cara paling efisien untuk memulihkan nutrisi berharga dari bahan ikan adalah produksi HPI.
HPI bisa memanfaatkan bahan sisa produksi utama yang sudah tidak layak konsumsi secara langsung, namun masih mengandung nutrisi. Misalnya, sisa hasil perikanan yang sering dibuang, atau beberapa jenis ikan yang kurang diminati konsumen meski sebenarnya mengandung nutrisi yang baik.
Menurut FAO [2016], Indonesia adalah negara dengan produksi perikanan laut terbesar di dunia setelah China, disusul Amerika, dan Rusia. Secara global dari 167,1 juta ton hasil penangkapan ikan, hanya 146,3 juta ton yang dikonsumsi. Sisanya, terbuang percuma dan berpotensi menjadi pencemar lingkungan.
Secara teknis, bahan baku ikan dihancurkan lalu diberi enzim dan air. Larutan kemudian dipanaskan dengan suhu dan tekanan tertentu. Setelah proses hidrolisis, protein ikan dalam bentuk cair dipisah. Selanjutnya, larutan protein ikan ini dikeringkan dan disimpan. Protein ikan kemudian bisa dicampur ke dalam makanan atau minuman.
Dalam artikel itu juga disebutkan, hidrolisis membuat protein ikan terdeformasi menjadi bagian lebih kecil berupa peptida dan asam amino. Dibanding protein, peptida dan asam amino ini diklaim lebih mudah diserap sistem pencernaan. Sehingga sangat baik dikonsumsi oleh mereka yang sedang sakit atau olahragawan.
Baca juga: Apakah Ada Ikan yang Menyusui Anaknya?
Olahan ikan bandeng asap Sidoarjo, merupakan produk hilirisasi perikanan. Foto: KKP
Fermentasi presisi
Teknologi yang lebih canggih dalam bidang pangan dan terus dikembangkan hingga kini adalah fermentasi presisi. Ini adalah metode bioteknologi yang merekayasa mikroorganisme untuk menghasilkan protein atau senyawa tertentu, dengan tingkat akurasi dan efisiensi tinggi.
Manusia sejak lama telah mengenal fermentasi makanan. Secara tradisional, fermentasi digunakan untuk meningkatkan masa simpan makanan. Teknologi fermentasi dalam bentuknya yang sederhana juga digunakan untuk memproduksi minuman, kecap, juga cuka.
Pemanfaatan fermentasi presisi telah dimulai pada era 80-an dengan dimulainya produksi insulin manusia melalui bakteri Escherichia coli. Selanjutnya, fermentasi presisi dikembangkan pula dalam industri makanan. Bahkan sejak beberapa tahun lalu, produk makanan hasil fermentasi presisi sudah bisa ditemui di supermarket. Sebuah perusahaan di Amerika telah menjual susu yang bukan dihasilkan sapi melainkan dari mikroflora. Begitupun di Australia, yang mengembangkan dan menjual susu sintetis untuk menggantikan susu sapi.
Sebuah lembaga kajian yang berkedudukan di London dan San Fransisco, Rethink X memperkirakan, pada 2030 produk makanan hasil fermentasi presisi akan lebih murah dan berkualitas dibanding produk hewani. Pada 2035, industri peternakan sapi bahkan akan ditinggalkan dan dianggap kuno.
Menurut lembaga tersebut, disrupsi dalam bisnis susu ini tidak bergantung pada perubahan perilaku konsumen yang cenderung masih hati-hati terhadap produk hasil rekayasa molekuler. Namun, produsen makanan tentu akan membeli susu yang lebih murah dan cepat didapat dibanding produk susu konvensional.
Lembaga ini juga menyatakan, teknologi fermentasi di bidang susu mampu memberikan dampak positif terhadap lingkungan. Teknologi fermentasi presisi 100 kali lebih hemat dalam pemakaian lahan, 10 hingga 25 kali lebih hemat dalam bahan baku, 20 kali lebih hemat waktu, dan 10 kali lebih hemat air dibanding yang dilakukan industri ternak konvensional.
Paus bungkuk merupakan satwa laut yang menyusui anaknya dan digolongkan sebagai mamalia, bukan ikan. Foto: Todd Cravens/Unsplash/Free to use
Kurang tepat untuk manusia
Pakar ilmu dan teknologi pangan, Daisy Irawan, berpendapat masih banyak hasil laut yang terbuang dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Untuk itu, jangan dijadikan alasan untuk melakukan HPI. Sebab, hasil laut yang bergizi seharusnya dimakan saja. Sehingga, nutrisi yang dikandung hasil laut bisa terserap dan dimanfaatkan tubuh.
“Kenapa hasil laut yang bergizi dibuang? Kenapa anak-anak diberi makanan buangan?” sergahnya, Jumat [20/9/2024].
Dia menilai, memberikan makanan atau minuman yang berasal dari HPI sebagai langkah kurang tepat. Produk buangan yang tidak layak dikonsumsi manusia, jangan diberikan untuk manusia.
“Mana yang lebih tepat dan bermanfaat, menggunakan limbah produk hasil laut yang tadinya mau dibuang itu untuk susu jadi-jadian, atau buat makanan kucing saja?”
Dia memberi contoh, makanan kucing impor dari Australia dengan berat 1,5 kg bisa bernilai 51,99 dollar Australia. Sementara, satu merek susu sapi full cream dalam bentuk bubuk per kilogramnya, hanya dijual 10 dollar Australia.
“Mungkin ekspor makanan kucing lalu impor susu sapi beneran masih lebih baik,” paparnya.
Apakah Ada Ikan yang Menyusui Anaknya?
Sumber: Mongabay.co.id