- Petani di berbagai daerah seperti di Lampung Selatan dan Garut mengalami gagal panen karena kekeringan akibat kemarau panjang dan terdampak perubahan iklim
- Pemerintah membantu petani yang gagal panen dengan asuransi pertanian dan meningkatkan infrastruktur pompa hingga rehabilitasi jaringan irigasi tersier untuk mengatasi kekeringan
- Pola monokultur dari revolusi hijau termasuk penggunaan pestisida dan pupuk kimia berdampak pada hilangnya keragaman tanaman pangan serta rusaknya tanah pertanian
- Pesantren Ekologi Ath Thariq, Garut yang dipimpin Nissa Saadah Wargadipura memperkenalkan sistem pertanian agroekologi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk mengatasi dampak pola monokultur pertanian
Siang itu cuaca panas terik sesekali berangin di Desa Pasuruan, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung.
Meski memasuki musim hujan, namun berhektar-hektar sawah tetap terancam kekeringan seperti pada musim kemarau panjang 2023 lalu. Itu diperparah dengan sungai dan irigasi yang mengering, seperti halnya kehidupan para petani seperti Winarto (54 tahun) yang dompetnya pun ikut mengering.
Winarto memikirkan efek kemarau panjang akan terulang terus-menerus dan membuatnya gagal panen hingga berutang jutaan rupiah. “Saya berharap pemerintah membantu membuatkan sumur bor di sawah, kami butuh bantuan air,“ ujarnya.
Dia menyadari perubahan iklim telah menyulitkan kehidupan para petani tadah hujan seperti dirinya, jika pemerintah tidak membantu membangun sumur bor. Maka petani akan terus terjerat hutang rentenir dari tahun ke tahun, karena gagal panen.
Winarto kehabisan modal dan hutangnya menumpuk untuk membayar upah buruh tanam, pembibitan, membeli pupuk dan kebutuhan lainnya, setelah itu dia mengalami kegagalan panen. Keluarganya bertahan hidup dari hutang di warung kelontong tetangganya dan menanam sayur-mayur di lahan pekarangan rumah yang sempit. Namun itu semua, tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Meski harga beras melonjak tinggi di pasaran, tapi hidup para petani tidak serta-merta kelimpahan ekonomi alias sejahtera. Petani tadah hujan seperti Winarto menghadapi gagal panen karena kekeringan akibat kemarau panjang. Air menjadi sumber kehidupan bagi para petani di manapun, termasuk di Desa Pasuruan, Lampung Selatan ini yang merupakan daerah pertanian padi.
- Advertisement -
Desa Pasuruan dihuni oleh 1.500-an orang warga. Jika dilihat dari statistik desa, jumlah petani hanya 3,39 persen, dibanding jumlah penduduk yang belum atau tidak bekerja 39,54 persen, lalu ASN 3,65 persen.
Baca : Kekeringan, Petani Lombok Dibayangi Gagal Panen
Sawah yang kekeringan karena kemarau panjang di Desa Pasuruan, Lampung Selatan. Foto : Farida Indriastuti
Sumali (51 tahun) Kepala Desa Pasuruan mengaku pusing kepala menghadapi dampak perubahan iklim dan kegagalan panen yang dialami petani di daerahnya. Di Desa Pasuruan terdapat 8 dusun dengan 470 petani dan 242 hektar lahan garapan pertanian atau sawah.
Sumali dan perangkat desanya sudah terjun ke lokasi untuk mengecek kondisi sawah-sawah yang terdampak dan pernah mengalami kekeringan atau kegagalan panen. “Kita upayakan mencari jalan keluar, agar para petani dapat bantuan air atau sumur bor,“ katanya.
Meski Juli mulai memasuki musim hujan, sawah-sawah tadah hujan di Desa Pasuruan masih membutuhkan banyak cadangan air hujan, apalagi diperparah oleh kemarau panjang dan intensitas hujan yang masih rendah.
Sayangnya kehadiran Presiden Jokowi pada 11 Juli 2024, hanya mampir ke kecamatan tetangga, yaitu Kecamatan Palas, Lampung Selatan untuk meninjau lokasi penyaluran bantuan pompa sumur untuk pengairan sawah dan pertanian. Sedangkan Desa Pasuruan dilewatkan, Presiden Jokowi tidak mampir dan para petani Desa Pasuruan tidak mendapatkan bantuan pemerintah sama sekali.
Tidak cuma di Desa Pasuruan, Lampung Selatan. Kehidupan para petani di Kampung Cihideung, Desa Cihurip, Kabupaten Garut tak kalah miris. Akibat kesulitan ekonomi, keluarga petani terpaksa mengkonsumsi makanan seadanya. Lebih sering makan nasi saja tanpa lauk, tanpa asupan protein dan gizi lainnya bagi anak-anak mereka yang masih di bawah umur.
Petani perempuan bernama Sri Mulyani mengungkapkan, “Untuk saat ini, kami mengonsumsi makanan seadanya seperti ubi, singkong, kangkung, sawi. Itu pun musiman. Kami belum tercukupi, untuk pergi belanja sangat jauh. Ada pasar tradisional di desa, tapi tidak cukup stoknya, tetap kami harus ke kota dengan jarak tempuh 3 jam sampai 4 jam dengan kendaraan umum,” katanya.
Padahal Kabupaten Garut merupakan wilayah penghasil komoditas pertanian (beras) yang potensial di Jawa Barat. Pada 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Garut mampu menghasilkan 452.259 ton beras. Meski sesungguhnya produksi beras di Jawa Barat mengalami penurunan yang cukup signifikan pada 2023, sebanyak 3,11 persen dibanding tahun sebelumnya. Meski begitu ironis, jika petani tidak sejahtera di saat harga beras melambung tinggi, tapi justru terjerat hutang rentenir.
Baca juga : Kala Nelayan dan Petani Terdampak Perubahan Iklim
Winarto, petani yang alami gagal panen mendiskusikan solusi yang harus dilakukan para petani tadah hujan dengan aparat Desa Pasuruan, Lampung Selatan. Foto : Farida Indriastuti
Upaya Pemerintah
Mitigasi untuk meringankan beban petani yang mengalami kekeringan panjang, justru dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang mengurusi para petani yang mengalami nasib naas. Pada 19 Februari 2024 lalu, Menko PMK Muhadjir Effendy menyebutkan, pemerintah akan meneruskan bantuan kepada para petani yang mengalami gagal panen.
“Adapun untuk mengatasi gagal panen pada 2024, pemerintah akan mengoptimalkan asuransi pertanian melalui PT Jasindo dengan perluasan faktor risiko seperti kekeringan dan hama, “jelas Muhadjir melalui situs resmi Kemenko PMK.
Kementerian Pertanian sebenarnya telah melakukan langkah antisipasi untuk menghadapi musim kemarau panjang yang diproyeksikan berdampak signifikan pada sektor pertanian nasional, sejak Oktober 2023. Kementan seperti dikutip Antara, meningkatkan infrastruktur pompa hingga rehabilitasi jaringan irigasi tersier. Pada September 2024 ini sudah memasuki musim kemarau panjang, dengan puncak kemarau pada Agustus 2024, jika didasarkan prediksi BMKG.
Karena itu Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman meyakini perlu segera melakukan antisipasi terhadap kinerja produksi pangan dalam negeri, termasuk El Nino 2023 yang dampaknya masih berlanjut hingga ke 2024.
Kementan menilai pentingnya mengembangkan teknologi budidaya pertanian hemat air dan gerakan panen air hujan juga diperkenalkan untuk meningkatkan ketahanan pangan terhadap dampak kekeringan. Masalahnya intensitas hujan pada September 2023 hingga September 2024 sangat rendah, bagaimana gerakan panen air hujan dapat mengantisipasi kekeringan panjang?
Baca juga : Menderitanya Petani Rawa Lebak di Sumatera Selatan Akibat Perubahan Iklim
Areal pesawahan di Garut Selatan. Foto : Farida Indriastuti
Agroekologi yang Menyelamatkan Petani
Wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, memiliki kekayaan biodiversitas pangan dan vegetasi alam yang luar biasa dengan beragamnya komoditas pertanian. Ironisnya, banyak lahan-lahan pertanian produktif pertanian bukan dimiliki warga lokal Garut, tapi dimiliki warga di luar Garut.
Banyak warga Garut menjadi buruh tani penggarap lahan dengan upah sangat rendah dan terjerat hutang rentenir. Sistem pertanian dengan pola monokultur, dampak dari revolusi hijau warisan Orde Baru dengan cara penyeragaman tanaman pangan, khususnya padi, membuat keragaman tanaman pangan hilang. Diperparah dengan penggunaan pestisida dan bahan-bahan kimia lainnya. Dampaknya, mematikan unsur hara tanah dan tercerabutnya biodiversitas pangan, serta menihilkan keterlibatan peran perempuan di dalamnya.
Padahal peran perempuan dalam produksi pertanian yang ramah lingkungan dapat menjadi solusi mengatasi gizi buruk keluarga. Kabupaten Garut justru tercatat sebagai wilayah dengan prevalensi balita stunting yang tinggi di Jawa Barat, sekitar 35,3 persen. Garut dinyatakan berstatus merah gizi buruk pada 2021 hingga 2022.
Padahal kabupaten ini unggul dalam pasokan produksi pangan, berupa komoditas sayur-mayur, buah-buahan dan lainnya untuk kebutuhan pasar nasional, sekitar 25-35 persen per tahun. Wilayah ini menjadi ujung tombak komoditas pertanian secara nasional.
Konon, Pemerintah Daerah Garut tetap optimis menargetkan prevalensi stunting di bawah 14 persen pada 2024, sesuai dengan target nasional, meski angka stunting di Garut naik dari 23,6 persen menjadi 24,1 persen pada 2023 berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia.
Baca juga : Nissa Wargadipura dan Harapan Kedaulatan Pangan Masyarakat
Petani di Garut Selatan sedang memeriksa tanaman pangan di lahan pertanian setiap pagi untuk mengantisipasi serangan hama. Foto : Wildan
Nissa Saadah Wargadipura (52 tahun), melakukan perlawanan atas praktik-praktik pertanian yang tidak berkelanjutan dan tidak ramah lingkungan. Nissa merupakan salah satu penggagas Pesantren Ekologi Ath Thariq, Garut, yang pernah belajar di The Navdanya Biodiversity Conservation Farm, Earth University Dehradun, Uttarakhand, India. Saat itu dia terpilih sebagai penerima beasiswa belajar dari Agroecology and Organic Ford System Course dari Dr. Vandana Shiva, seorang aktivis lingkungan, advokat kedaulatan pangan, penulis ekofeminis dan anti globalisasi India yang sangat terkemuka.
Nissa melabuhkan dirinya dalam aktivisme pendidikan karakter dan lingkungan, terutama agroekologi dalam ketahanan pangan. Pesantren Ekologi Ath-Thaariq yang dipimpinnya mengembangkan pola pertanian berbasis organik yang berkelanjutan dan menolak sistem monokultur.
“Buat saya, bencana alam itu bukan hanya persoalan longsor, gempa bumi dan perubahan iklim saja. Namun juga, bagaimana tanah yang tidak mampu menyerap air. Itu juga bencana, dampak dari revolusi hijau yang sistemik. Dampaknya, perempuan-perempuan tidak mampu melahirkan secara normal, anak-anak tumbuh stunting atau kurang gizi akut, karena semua pangan tercemari oleh pupuk kimia dan pestisida,“ ungkapnya.
Keresahan Nissa bukan tanpa alasan, mayoritas lahan-lahan pertanian padi, sayur-mayur dan lainnya sudah terkontaminasi dan mengalami kerusakan unsur haranya pada tanah akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan. Sehingga mengganggu ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Sedangkan Nissa mengubah pola tanam yang organik dan ramah lingkungan di sekitar rumah dan pesantrennya. Dia mengelola sawah, kebun dan kolam ikan sendiri secara mandiri, serta merawatnya bersama para santri-santrinya. Nissa mengajarkan cara berkebun dengan sistem agroekologi dengan polikultur biodiversity. Artinya semua tanaman yang menjadi pangan, tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Lalu bahan pangan itu diolah sendiri secara mandiri.
Baca : World Soil Day: Agroekologi untuk Kelola Tanah yang Sehat
Nissa Wargadipura, pimpinan Pesantrean Ath-Thaariq Garut yang mengembangkan pertanian agroekologi. Foto: Farida Indriastuti/Mongabay Indonesia
Pertanian dengan pola agroekologi atau berbasis ekologi menjadi alasan yang logis terjalinnya interaksi manusia dengan alam dan semesta. Juga interaksi manusia dengan mikroba, binatang dan keanekaragaman hayati di sekelilingnya. Bukankah manusia memiliki keterikatan dan satu kesatuan dengan habitat lainnya, yang tak terpisahkan, baik hubungan dengan semesta dan animal system.
”Ciri-ciri tanah yang bagus dan sehat itu diimbangi oleh animal system. Ada kunang-kunang, ular, tupai dan burung,“sergahnya. Nissa membiarkan sawah dan kebunnya menjadi ruang hidup bagi berbagai habitat seperti ular, karena ular merupakan predator pemangsa tikus.
Proses animal system ini juga memunculkan burung hantu. Sayangnya, kepadatan lingkungan membuat burung hantu tidak singgah di kampungnya di Desa Sukagalih, Tarogong Kidul, Garut.
Nissa tanpa lelah memulihkan ekosistem hingga mata rantai pangan ikut pulih. Agroekologi merupakan ideologi yang jadi pegangan Nissa dalam mendidik para santrinya. “Anak-anak sendiri yang menanam ganyong, kacang panjang, ubi dan lainnya. Lalu mengolahnya di dapur dan makan bersama. Dengan agroekologi, kita akan dapat ilmu pertanian yang berkelanjutan dari gerakan sosial ini, bahkan management knowledge,“ imbuhnya.
Nissa menentang pertanian monokultur, karena menjadi pangkal penyebab kerusakan alam. Tanah-tanah menjadi kering, gersang tak mampu menyerap air. Diperparah hutan tropis yang mengalami deforestasi dan alih fungsi lahan menjadi sawah dan perkebunan dengan sistem monokultur.
Santri pesantren Ath Thaariq, Tarogong Kidul, Garut, Jabar, asyik panen caisim organik. Foto : Nissa Wargadipura
Dampak Revolusi Hijau
Sistem pertanian monokultur tidak hanya merusak lahan pertanian, namun juga menjerat petani dengan biaya produksi yang tinggi untuk membeli pupuk kimia, pestisida, benih hibrida dan lainnya. Dampaknya para perempuan dan anak-anak yang menjadi korban, Karena perempuan terpaksa hidup dalam jebakan kemiskinan dan ketidakberdayaan, acapkali terlilit hutang.
Efek penyeragaman tanaman (revolusi hijau) ini sering tidak disadari oleh petani dan masyarakat pada umumnya, termasuk efek konsumsi dari pangan yang berasal dari benih hibrida dan transgenik. Akibatnya, beragam jenis penyakit baru muncul, karena merebaknya makanan transgenik, baik jagung, kedelai dan lainnya. Dengan biodiversitas pangan yang dihasilkan dari kebun keluarga, keluarga tidak akan mengalami malnutrisi dan tidak terganggu oleh biaya produksi yang tinggi, apalagi sampai berutang pada pemilik modal.
Nissa mengelola kebun dan lahan pertanian dengan menggunakan pollinated organic seed atau pembenihan secara organik, dengan menggunakan pupuk kompos yang terbuat dari limbah kotoran ternak dan sampah organik atau bahan organik. Gerakan sosial ekologi ini memang seperti anti-tesis terhadap langkah pemerintah yang mengalihfungsikan lahan hutan tropis sebagai penyangga oksigen, berubah menjadi food estate yang gagal seperti di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara.
Langkah pemerintah ini juga dapat berdampak pada bencana ekologi, jika ekosistem dan habitat yang menaungi hutan tropis hilang. Contohnya, Perhutani Garut tidak mampu memulihkan ekosistem hutan. Perhutani justru menyewakan lahan hutan yang dibabat kepada tuan-tuan tanah, sedangkan masyarakat Garut dengan sistem holtikultura dan menggunakan pestisida, memperparah kebencanaan, ditambah dengan biaya produksi yang tinggi, sangat tidak menguntungkan bagi petani penggarap dan buruh tani. (***)
*Farida Indriastuti. Wartawan paruh waktu di Jakarta.
Fenomena Iklim dan Belenggu Petani Padi
Sumber: Mongabay.co.id