- Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi disebut tidak memiliki keberpihakan kepada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
- Kawasan Timur Indonesia yang menjadi representasi wajah Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar, kini terancam bencana ekologis, aktivitas pertambangan, krisis iklim, dan juga kebijakan pemerintah yang tidak berpihak masyarakat.
- UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang dilahirkan pemerintahan Jokowi menjadi bencana besar, karena menghancurkan kemampuan adaptasi masyarakat pesisir dan pulau kecil yang selama ini berjuang menghadapi krisis iklim.
- Sebanyak 18 Organiasi yang terhimpun dalam Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia, mengeluarkan Resolusi Banda Neira untuk menyikapi transisi kepemimpinan nasional menuju pemerintahan baru.
Selasa pagi, 10 September 2024. Puluhan orang dari 18 organisasi masyarakat pesisir yang terhimpun dalam Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia, berkumpul di Banda Neira, Maluku Tengah. Mereka menggelar pertemuan bertajuk “Coastal and Small Islands People Summit III 2024”, tepat di kaki Gunung Api Banda yang terakhir kali meletus pada 1988.
Organisasi tersebut di antaranya: Eco Nusa, Walhi Eknas, Walhi Maluku Utara, Walhi Sulawesi Selatan, Jala Ina Maluku, Japesda Gorontalo, Yayasan BoneBula, Yayasan Konservasi Laut, Komdes Sultra, LPSDN Lombok, YSNM Sulawesi Utara, PGM Malaumkarta Sorong, Tunas Bahari Maluku, Pakativa Maluku Utara, dan Tananua Flores.
Bagi mereka, Banda Neira adalah tempat monumental untuk menggelar perhelatan. Di gugusan pulau kecil ini, lahir ide dan gagasan besar bangsa Indonesia dari dua tokoh yang dibuang pemerintah kolonial Belanda: Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Dengan membawa spirit perjuangan tokoh besar bangsa itu, mereka melakukan evaluasi kebijakan pemerintah Jokowi selama satu dekade.
“Selama 10 tahun Jokowi menjadi Presiden, regulasi kelautan dan perikanan tidak kemana-mana dan justru bergerak mundur. Tidak ada komitmen dari penyelenggara negara yang dimandatkan oleh rakyat untuk memproduksi undang-undang yang mengakui dan melindungi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil,” tegas Parid Ridwanudin, Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil Walhi Nasional.
Alih-alih melindungi, kata Parid, pemerintahan Jokowi justru melahirkan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang menjadi bencana besar. Ini menghancurkan kemampuan adaptasi masyarakat pesisir dan pulau kecil yang berjuang menghadapi krisis iklim. Di dalam kebijakan omnibus law tersebut, instrumen perlindungan dianggap sebagai penghambat.
- Advertisement -
Sebagai contoh, dalam Undang-undang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; pertambangan dilarang dilakukan di pulau kecil. Namun dalam UU Cipta Kerja, hal itu dibolehkan karena bersesuaian dengan aturan mengenai Undang-undang Penanaman Modal.
Regulasi lain adalah Undang-undang Mineral dan Batubara Nomor 3 Tahun 2020. Dalam salah satu pasalnya dijelaskan bahwa wilayah hukum pertambangan adalah seluruh ruang, baik itu lautan dan daratan.
“Sementara pasal lainnya, menegaskan bahwa barang siapa yang menghalangi pertambangan yang sudah mendapat izin usaha pertambangan, bisa dipenjara dan denda,” ujarnya.
Baca: Menikmati Banda Neira: Dari Pala hingga Biota Lautnya
Gunung Api Banda yang terakhir kali meletus pada 1988. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia
Contoh kasus ini, terjadi di pulau kecil bernama Wawonii, Sulawesi Tenggara, yang berbatasan langsung dengan laut Banda.
Menurut Imanche Rachman, Direktur Komdes Sultra, pulau kecil itu tengah menghadapi ancaman serius terkait iklim. Banjir rob dan abrasi adalah potret permasalahan iklim yang telah dirasakan langsung di beberapa titik. Kondisi ini diperparah dengan ancaman bencana ekologis, akibat hadirnya industri ekstraktif pertambangan yang begitu massif, salah satunya adalah PT GKP [Gema Kreasi Perdana].
Putusan Mahkamah Konstitusi No: 35/PU-XXI/2023 hanya menjadi angin surga yang menjanjikan harapan kemenangan kecil bagi rakyat pesisir Pulau Wawonii, yang dengan dalih apapun tidak boleh ada aktivitas pertambangan. Faktanya, GKP tetap saja menjalankan produksi, bahkan intensitasnya semakin tinggi.
Bukan itu saja, GKP dan beberapa perusahaan lain [BKM dan KIMCO], saat ini antri melebarkan aktivitas menggerusnya hingga menyasar Wawonii Tengah.
“Wawonii diambang krisis. Pulau Wawonii adalah wajah pulau-pulau kecil Kawasan Timur Indonesia,” kata Imanche.
Regulasi lainnya adalah dokumen RPJPN [Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional] 2025-2045, yang masih membawa agenda lama yaitu industri esktraktif. Meskipun dalam dokumennya mencantumkan ekonomi hijau dan ekonomi biru, tetapi metodenya tetap mengeruk darat dan laut.
Selain itu, laut dijadikan arena pertarungan aktor besar seperti pertambangan, industri pariwisata, kapal besar, dan bahkan proyek yang mengatasnamakan konservasi. Sementara, nelayan skala kecil yang harusnya menjadi tuan di lautnya sendiri, semakin tersingkir.
“Ini adalah dokumen problematik. Hilirisasi nikel menjadi agenda yang mengancam serius ke depannya. Laut masih diposisikan sebagai ruang pertarungan antara aktor besar dan masyarakat pesisir, sementara negara tidak melindungi masyarakatnya,” tegas Parid.
Baca: Pulau Kecil, Terancam Tenggelam oleh Pertambangan
Teluk Banda Naira yang indah, menjadi lokasi Resolusi Banda untuk satu dekade pemerintahan Jokowi. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia
Kawasan Timur, Wajah Negara Kepulauan Indonesia
Muhamad Yusuf Sangadji, Direktur Eksekutif Jala Ina, Maluku, menjelaskan bahwa Kawasan Timur Indonesia adalah representasi wajah Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar. Kawasan ini, mencakup ribuan pulau kecil yang tersebar di berbagai provinsi, termasuk Papua, Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Merujuk data Badan Pusat Statistik [BPS] tahun 2022, terdapat 11.117 pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia dari total 17.504 pulau yang dimiliki Indonesia. Pulau-pulau ini memainkan peran penting sebagai bagian dari identitas Indonesia. Negara kepulauan terbesar di dunia, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas wilayah laut mencapai 6,4 juta km2.
Jika kawasan ini rusak, tidak hanya keanekaragaman hayati yang terancam, tetapi juga citra dan kedaulatan Indonesia sebagai negara maritim.
“Kerusakan seperti degradasi terumbu karang, abrasi pantai, dan hilangnya hutan mangrove dapat memperburuk dampak perubahan iklim.”
Kerusakan ini juga memicu krisis sosial ekonomi masyarakat adat dan pesisir, yang bergantung pada sumber daya laut. Menurut dia, menjaga keberlanjutan Kawasan Timur Indonesia adalah langkah strategis untuk melindungi Indonesia dari krisis lingkungan dan mempertahankan posisinya sebagai negara kepulauan penting.
Ekosistem pesisir dan laut, menyediakan berbagai manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil, yang sangat bergantung pada sumber daya alam ini.
“Namun, pesisir dan pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia kini menghadapi ancaman bencana ekologis, aktivitas pertambangan, krisis iklim, dan juga kebijakan pemerintah yang tidak berpihak masyarakat,” kata Yusuf.
Baca: Indonesia Emas 2045 Terancam: Tantangan Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut
Biota laut dan terumbu karang di perairan Banda Neira. Foto: Utami Isharyani/Mongabay Indonesia
Ancaman tersebut, menurutnya, sudah dialami nelayan di Pulau Banda Neira. Berdasarkan riset Jala Ina, salah satu kelompok nelayan di Kampung Baru, tidak lagi menjadi nelayan dan menjual alat tangkap mereka, beralih menjadi buruh di kapal besar.
Sebab, wilayah tangkap semakin jauh bahkan di atas 60 mil dan akses bahan bakar minyak [BBM] semakin sulit. Hal serupa terjadi di selatan Pulau Seram, yaitu penurunan jumlah nelayan mencapai 75 persen disebabkan krisis iklim, akses BBM sulit, dan wilayah tangkap semakin jauh.
“Masalah ini, bahkan menyebabkan angka kekerasan rumah tangga dan perceraian semakin tinggi diakibatkan menurunnya pendapatan ekonomi. Kebijakan yang tidak berpihak rakyat tersebut, berpotensi besar merampas ruang penghidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Maluku,” tandas Yusuf.
Baca juga: Cara Orang Auki Kelola dan Jaga Laut, Silangkan Adat dengan Sains
Rumah tahanan Muhammad Hatta di Banda Neira. Foto: Wikimedia Commons/Petewarrior/CC BY-SA 4.0
Resolusi Banda Neira
Banda Neira disebut Eropa Kecil atau Klein Europeesch Stad ketika Portugis membangunnya tahun 1500-an. Hingga kini, bangunan-bangunan bergaya arsitektur kolonial dengan mudah ditemui.
Di Kota Banda Neira yang kecil, yang dikepung keindahan lautan biru dan aroma buah pala yang khas, Jaring Nusa mengeluarkan Resolusi Banda untuk menyikapi transisi kepemimpinan nasional menuju pemerintahan baru; dinakhodai Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih.
“Penyampaian sikap ini berakar pada absennya political will Presiden Joko Widodo yang tidak memastikan pengakuan dan perlindungan wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil sekaligus masyarakat yang hidup di atasnya, selama satu dekade memimpin Indonesia,” ujar Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa.
Jaring Nusa menyebut bahwa Jokowi memberikan karpet merah sangat besar bagi investasi dengan cara memproduksi beragam regulasi yang menjadi predator. Khususnya, terhadap hak-hak masyarakat pesisir dan pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia.
Jaring Nusa melihat, kepemimpinan Prabowo merupakan kelanjutan dari pemerintahan Jokowi yang tetap memprioritaskan agenda investasi skala besar, yang memadukan pendekatan ekstraktif dengan perampasan ruang laut terencana.
Indikatornya, dapat dilihat dari beragam perencanaan pembangunan yang kini tengah disusun. Terutama, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional [RPJPN] 2025-2045 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional [RPJMN] 2025-2029.
“Pada saat yang sama, baik Jokowi maupun penggantinya, tidak pernah membicarakan agenda perwujudan keadilan ekologis dan atau keadilan iklim bagi masyarakat pesisir serta pulau kecil, sebagai upaya menjalankan mandat konstitusi Republik Indonesia,” kata Asmar.
Laut Wawonii dengan sebagian air berubah warga oranye, diduga cemaran ore nikel. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia
Resolusi Banda Neira 2024 untuk keadilan ruang pesisir, laut dan pulau kecil, khususnya bagi Kawasan Timur Indonesia, memiliki enam isu.
Pertama, mengenai perubahan iklim; Jaring Nusa menyerukan kepada pemerintahan baru untuk memastikan keselamatan masyarakat pesisir dan pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia dari dampak krisis iklim. Pada saat yang sama, pemerintahan baru didesak untuk mengevaluasi berbagai peraturan perundangan serta regulasi dan kebijakan yang memperparah krisis iklim.
“Pengambil kebijakan dari tingkat pemerintah daerah hingga pusat, seharusnya merancang pembangunan yang sesuai dengan karakteristik wilayah kepulauan, dan membangun mitigasi, adaptasi, serta resiliensi terhadap ancaman perubahan iklim,” kata Zafira Daeng Barang, dari PakaTiva Maluku Utara.
Kedua, pengelolaan ruang laut dan hak kelola masyarakat. Menurut Jaring Nusa, pemerintahan baru semestinya tidak menggunakan pendekatan sektoralisme terhadap masyarakat pesisir dan mengevaluasi alokasi ruang yang selama ini ada dalam RZWP3K. Juga, melakukan moratorium pembahasan integrasi tata ruang darat dan laut, sebelum memastikan hak-hak masyarakat pesisir masuk dan menjadi arus utama dalam perencanaan tata ruang.
Ketiga, kedaulatan pangan, air dan ekonomi lokal. Menurut Jaring Nusa, pemerintahan baru harus memastikan kedaulatan pangan dan air, serta ekonomi lokal menjadi arus utama dalam agenda pembangunan di wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia.
Selain itu, pemerintahan baru mesti mengevaluasi dan menghentikan beragam pembangunan yang selama ini merusak sumber-sumber pangan, sumber-sumber air, serta ekonomi lokal masyarakat pesisir.
“Sumber pangan dimiliki masyarakat di darat dan laut. Saat ini, keduanya telah dicederai negara dengan mengeluarkan berbagai regulasi yang melukai kemandirian dan budaya gotong royong,” ujar Pius Jodho, dari Tananua Flores.
Keempat, industri ekstraktif. Selama ini wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil menjadi target industri ekstraktif yang diberikan stempel oleh negara. Dampaknya, kerentanan wilayah pesisir, laut dan pulau kecil semakin meningkat dan meluas dalam sepuluh tahun terakhir. Pemerintahan baru, diminta menghentikan total semua industri ekstraktif karena daya dukung ekologis kawasan ini memiliki keterbatasan dibandingkan daratan besar.
“Kami dari Pulau kecil Sangihe, berharap pencabutan IUP PT Tambang Mas Sangihe [TMS] dilakukan tegas oleh penegak hukum. Semua aktivitas pertambangan ilegal harus dihentikan, jika pemerintah serius ingin menyelamatkan pulau kecil seperti Sangihe. Pemerintah, secara khusus KKP dan KLHK, diharapkan mencabut izin reklamasi pantai Manado Utara dan stop pemberian izin lainnya,” kata Jull Takaliuang, Ketua Yayasan Suara Nurani Mina
Banda Neira yang dilukis oleh Josias Cornelis Rappard pada 1883. Sumber: Wikimedia Commons/COLLECTIE TROPENMUSEUM/CC BY-SA 3.0
Kelima, konservasi dan perikanan berkelanjutan. Jaring Nusa menilai bahwa konservasi di Indonesia salah arah, karena tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama. Pemerintahan baru, didesak untuk melihat dan memperlakukan konservasi sebagai alat, bukan tujuan. Sebagai alat, konservasi harus ditujukan untuk mewujudkan keadilan ekologis dan atau keadilan iklim, bukan untuk konservasi itu sendiri.
Terkait isu perikanan berkelanjutan, Jaring Nusa menyampaikan kritiknya terhadap kebijakan penangkapan ikan terukur [PIT] yang akan dijalankan Pemerintah Pusat. Khususnya, di Wilayah Pengelolaan Perikanan [WPP] 714, 715, dan 718 yang berlokasi di Teluk Tolo, Laut Banda, Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Teluk Berau, Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.
“Semuanya berada di Kawasan Indonesia Timur. Kebijakan PIT akan mendorong eksploitasi sumber daya ikan, karena memberikan karpet merah kepada korporasi besar,” ungkap Parid Ridwanudin.
Resolusi keenam, adalah ancaman bencana ekologis. Kawasan Timur Indonesia merupakan wilayah yang rentan terdampak bencana alam, bencana iklim, dan bencana akibat aktivitas industri. Berdasarkan permasalahan itu, Jaring Nusa mendesak pemerintahan baru untuk mendesain mitigasi bencana dengan tidak memproduksi berbagai regulasi yang akan memperburuk kerentanan wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil.
“Pemberian ruang terhadap industri ekstraktif yang saat ini dilakukan di Kawasan Timur Indonesia, terutama wilayah pesisir laut dan pulau kecil melalui skema proyek strategis nasional, justru akan mengakibatkan tingginya kerentanan masyarakat terhadap bencana ekologis,” tegas Faizal Ratuela, Direktur Walhi Maluku Utara.
Pulau Kecil, Terancam Tenggelam oleh Pertambangan
bencana ekologis, ekologi pesisir, featured, kerusakan lingkungan, komitmen jokowi, Konflik Sosial, pencemaran, Perikanan Kelautan, Pertambangan, Perubahan Iklim, reklamasi, sumber daya air
Sumber: Mongabay.co.id