- Masyarakat Kecamatan Laeparira, Dairi, Sumatera Utara, banyak bergantung hidup dari perkebunan dan pertanian. Mereka tanam berbagai jenis tanaman dari buah-buahan, sayur mayur sampai bumbu maupun bahan obat herbal. Ada kopi, jengkol, dukuh, durian sampai sampai jagung, jahe dan lain-lain.
- Durian Sidikalang, satu jenis durian yang sudah popular di Indonesia dari kabupaten ini. Di kebun buah berduri ini juga jadi tempat masyarakat saling berinteraksi. Di Desa Pandiangan, Kecamatan Laeparira, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, yang ada perusahaan tambang seng, kebun dan buah durian ini jadi simbol perlawanan mereka. Bagi mereka, tambang masuk, bisa jadi masa kelam bagi kebun atau lahan pertanian mereka.
- Warga mencontohkan indikasi keterkaitan kehadiran tambang dan dampak terhadap perkebunan maupun pertanian. Banjir bandang di Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, pada 2018, meluluhlantakkan pertanian masyarakat di sekitar tambang itu. Setidaknya, sekitar 60 hektar lahan pertanian masyarakat hancur tersapu banjir bandang, tiga orang meninggal dan dua hilang.
- Hotlan Sitorus, warga Desa Pandiangan, Kecamatan Laeparira mengatakan, Festival Durian Dairi bentuk perlawanan masyarakat terhadap perusahaan tambang. Alih-alih mensejahterakan, tambang berisiko menyengsarakan masyarakat termasuk petani.
- Advertisement -
Sore hari pada penghujung Agustus lalu, Rainim Purba, dan Tohonan Sihombing tengah bersantai sembari menikmati durian di kebun mereka di Desa Pandiangan, Kecamatan Laeparira, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pasangan suami istri ini baru saja panen buah berduri tajam ini.
Durian matang pohon itu sudah terkumpul. Tak bingung bagi mereka menjualnya karena pengepul langsung datang membeli.
Durian, jadi salah satu produk andalan perkebunan dan pertanian di Dairi. Buah ini pun tumbuh subur bersama berbagai tanaman lain yang menjadi sumber hidup masyarakat.
“Banyak pohon durian kami tanam disini, lihatlah. Durian ini sudah lama kami tanam berpuluh-puluh tahun. Hasilnya, kami nikmati sampai sekarang,” kata perempuan 63 tahun ini.
Opung Tomi, sapaan Rainim mengatakan, bukan hanya durian saja yang mereka tanam, ada tanaman lain. Di kebun seluas lima hektar miliknya, Rainim dan Tohonan menanam jengkol, jagung, dukuh, kopi sampai jagung dan jahe.
Kopi yang terkenal di Dairi adala Kopi Sidikalang, sudah masuk pasar ekspor. Produk itulah yang mensejahterakan mereka. Pertanian jadi penopang perekonomian masyarakat Dairi.
“Semua anakku bisa kuliah dari hasil durian dan pertanian ini,” kata perempuan beranak tujuh ini.
Rainim dan Tohonan sumringah kala saat durian di kebun. Mereka juga meminta saya makan durian bersama. Selain dijual, hasil panen durian sebagian buat makan sendiri.
Saat masa panen, durian jadi buah yang mempersatukan masyarakat dan membuka ruang komunikasi.
Pantauan Mongabay di sejumlah desa di Dairi, masyarakat berkumpul setiap saat sambil memakan durian. Bahkan di pagi hari, durian menjadi menu pendamping saat warga menikmati kopi.
Dulu, panen durian warga lebih banyak. Belakangan, buah durian cenderung menyusut. Mereka duga ada kaitan dengan masuknya perusahaan tambang seng, PT Dairi Prima Mineral (DPM).
“Sejak tambang DPM datang sudah bikin kami jantungan. Karena tambang merusak lingkungan, hutan kami jadi tempat buah,” ucap Tomi.
Kalau mau hitung hasil pertanian mereka, kata Tohonan, dalam setahun bisa hasilkan Rp150 juta. Kini, panen berkurang, otomatis penghasilan menurun.
“Penurunannya sangat terasa karena banyak penyakit tanaman kami, cabe busuk, kering, padi udah menurun terus,” katanya.
Tambang seng yang sudah mengupas hutan di dataran tinggi Dairi. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Belum lagi, kalau ada tambang bakal mengancam tutupan lahan yang jadi area operasinya.
Dia lantas mencontohkan indikasi keterkaitan kehadiran tambang dan dampak terhadap perkebunan maupun pertanian.
Banjir bandang di Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, pada 2018, meluluhlantakkan pertanian masyarakat di sekitar tambang itu. Baru kali pertama, terjadi banjir bandang di Bongkaras. Setidaknya, sekitar 60 hektar lahan pertanian masyarakat hancur tersapu banjir bandang, tiga orang meninggal dan dua hilang.
“Penghasilan warga Bongkaras hilang karena banjir bandang,” katanya.
Bongkaras merupakan satu desa yang berdampingan langsung dengan lokasi tambang DPM.
Perusahaan seng ini memegang izin kontrak karya pada 18 Februari 1998. Dalam ketentuan kontrak karya, DPM mengeksplorasi mineral seluas 27.420 hektar terletak di Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
Dari laman DPM menyebutkan, mulai pengeboran perut bumi pada 1997 dan menghasilkan endapan seng atau ‘anjing hitam’ bermutu tinggi di Sopokomil, Kecamatan Silima Pungga-Pungga.
Pada 2002, DPM memulai studi pra-kelayakan untuk menentukan kelayakan sumber daya ‘anjing hitam’ itu. Hasilnya, teridentifikasi 6,3 juta metrik ton pada 16% seng sulfida dan 9,9% galena atau timbal sulfida.
Hasil ini memberikan insentif untuk pengeboran definisi lebih lanjut dari badan bijih dan mulai studi kelayakan definitif (DFS) September 2003.
Data Trend Asia, 70% saham perusahaan ini dalam kuasa Herald Resources Limited, sisanya PT Aneka Tambang (Antam). Saham perusahaan beralih 100% ke PT Bumi Resources Minerals (BRMS), milik keluarga Aburizal Bakrie.
BRMS tak mampu membayar utang hingga mereka menjual 51% saham kepada Non Ferrous China (NFC).
Perjuangan masyarakat Dairi, menolak tambang seng. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Festival durian dan melawan tambang
Kendati hasil panen durian menurun, masyarakat Dairi tetap bersyukur. Menurut mereka, seberapapun hasil panen, durian merupakan berkah Tuhan yang harus mereka syukuri.
Untuk itu, dengan dukungan berbagai kalangan termasuk organisasi-organisasi masyarakat sipil yang membersamai perjuangan masyarakat, warga adakan Festival Durian Dairi selama dua hari di Gedung Nasional Sidikalang, Dairi.
Festival ini sebagai bukti kalau kekayaan alam Dairi berlimpah sekaligus menegaskan masyarakat sejahtera dari pertanian bukan tambang. Dalam festival ini, warga bisa menikmati durian berkualitas hasil tani di berbagai desa di Dairi hanya dengan membayar tiket Rp50.000.
Di festival ini juga ada hasil tani Dairi seperti buah, sayur dan tanaman obat. Turut juga menampilkan kebudayaan khas Batak dan teatrikal kehidupan serta perlawanan masyarakat di sekitar tambang.
Rohani Manalu, dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) mengatakan, di balik kemeriahan dan sukacita festival ini menyimpan kekhawatiran masyarakat terhadap kehadiran perusahaan tambang yang mengeksploitasi sumber daya alam Dairi. Mereka khawatir, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi itu mengancam keberlangsungan hasil tani yang menjadi sumber kehidupan.
“Ada beberapa daerah yang menghasilkan durian, hasilnya lumayan banyak,” katanya.
Hotlan Sitorus, warga Desa Pandiangan, Kecamatan Laeparira mengatakan, festival ini sebagai salah satu cara menyambut kemenangan masyarakat atas kasasi soal izin DPM di Mahkamah Agung.
Pada 12 Agustus 2024, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi masyarakat Dairi. Kasasi itu menganulir putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang menyatakan persetujuan lingkungan DPM sah pada 22 November 2023.
Dalam amar putusan kasasi, Yulius, Lulik Cahya Ningrum, dan Yosran, selaku Majelis Hakim Agung, memperkuat putusan PTUN Jakarta mencabut persetujuan izin lingkungan DPM.
“Harapan masyarakat ya besar, kami ini melakukan berbagai upaya bahkan juga di festival ini dan memperkuat perorganisasian masyarakat,” katanya.
Festival ini, kata Hotlan, juga bentuk perlawanan masyarakat terhadap perusahaan tambang. Alih-alih mensejahterakan, katanya, tambang berisiko menyengsarakan masyarakat termasuk petani.
“Inilah cara kami melawan, menolak perusahaan pertambangan. Kami tidak butuh tambang. Kami hidup dari pertanian, bukan pertambangan.”
Dormaida Sitohang, Warga Dairi mengatakan, punya 13 hektar lahan pertanian. Dari sana, keluarganya hidup dan tak membayangkan apabila perusahaan tambang terus mengeksploitasi sumber daya di Dairi.
Festival Durian Dairi. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Kedaulatan petani
Posman Sibuea, Guru Besar Ilmu Pangan Universitas Katholik Santo Thomas mengatakan, para petani makin terpinggirkan di Indonesia yang notabene negeri agraris. Pemerintah, katanya, lebih berpihak kepada industri ketimbang petani. Hal ini terbukti dengan banyak petani kehilangan mata pencaharian karena lahan terampas untuk kepentingan industri.
Ancaman paling nyata, kata Posman terjadi di Dairi. Para petani harus berjuang menjaga kelestarian alam.
“Memang industri ekstraktif menguras sumber daya alam di tengah kehidupan petani,” katanya dalam diskusi di Festival Durian.
Posman bilang, industri ekstraktif berdampak pada keberlanjutan alam, merusak tanah dan air. Imbasnya, hasil tani kian menurun.
Petani pun alami dilema. Diam sengara, melawan masuk penjara. Postan bilang, sudah banyak petani dikriminalisasi karena mempertahankan lahan dari gempuran industri.
Dia contohkan kriminalisasi yang dialami Sorbatua Siallagan, Ketua Adat Dolok Parmonangan Ompu Umbak Siallagan. Sobatua vonis dua tahun penjara denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara.
Faisal Basri, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) hadir dalam diskusi di Festival Durian di Dairi, beberapa hari sebelum meninggal dunia. Dia melihat situasi pertanian di Indonesia saat ini mengkhawatirkan.
Faisal bilang, dulu Indonesia salah negara pengekspor pangan terbesar di dunia. Dia contohkan pada 1938, kebutuhan pangan dunia banyak dari Indonesia, seperti gula, kedelai, daging sapi, beras sampai rempah-rempah.
Keadaan saat ini berbeda, pada 2023, misal, Indonesia mengimpor beras 3,4 juta ton dan 2024 target 5,8 juta ton. Impor beras itu, katanya, terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Belum lagi kedelai, telur dan daging sapi.
“Tidak pernah kita mengimpor sebanyak itu dalam keadaan krisis sekalipun, 5 ,8 juta ton melebihi kebutuhan kita. Pengimpornya dapat Rp1.000 saja sekilogram udah dapat Rp5,8 triliun. Udah gila ini. Roti [terigu] tadi bahan bakunya 100% kita impor.”
Faisal bilang, kebijakan pangan, pembangunan dan industrialisasi telah mengganggu keharmonisan petani dan nelayan lokal. Terusirnya masyarakat adat, pencemaran lingkungan membuat ekonomi masyarakat lokal berantakan.
Masyarakat, katanya, tidak mendapatkan manfaat untuk keberlangsungan ekonomi mereka dari kebijakan itu.
“Kita sudah tahu kerusakan di Dairi, kerusakan di Sumatera Utara secara keseluruhan kekayaan alamnya dikuras terus. Kemudian yang menikmati segelintir orang.”
Durian, salah satu hasil pertanian masyarakat Dairi. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Pantauan Komnas Perempuan
Veryanto Sitohang, Komisioner Komisi Nasional Perempuan mengatakan, telah merampungkan pemantauan atas laporan masyarakat terdampak aktivitas DPM. Komnas Perempuan menerima laporan Desember 2019 dan pemantauan selesai Oktober 2021.
Komnas Perempuan mendapati masyarakat terdampak berupaya menolak tambang DPM, namun respons masih tergolong tidak memadai.
Hasil pemantauan mencakup sejumlah aspek, antara lain, pengabaian hak warga terhadap lingkungan, pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya alam, serta dampak merugikan terhadap sumber air dan lingkungan hidup.
Temuan itu mencakup ketidakpatuhan hukum terkait kontrak karya DPM yang menyebabkan kerusakan pada kohesi sosial, polarisasi antara pendukung dan penentang tambang, dan ancaman serius terhadap sektor pertanian di kalangan masyarakat.
Pemantauan lapangan menyoroti kekerasan berbasis gender dalam konflik sumber daya alam, mengancam sumber kehidupan perempuan dan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan.
Meskipun DPM belum sepenuhnya beroperasi, dampaknya mencakup keretakan kohesi sosial, kehilangan harapan pada masa depan pertanian, kekerasan terhadap perempuan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak tambang.
Komnas Perempuan merekomendasikan, mitigasi konflik, koordinasi dengan kementerian terkait, perlindungan bagi masyarakat terdampak, dan penyelesaian konflik izin pertambangan yang adil dan menyeluruh, dengan perhatian khusus pada hak konstitusional warga negara dan kerentanan perempuan.
“Kami tidak hanya menerima pengaduan dari Dairi. Kami juga menerima pengaduan paling tidak di 22 provinsi. Mulai 2003 sampai 2021 sekurang -kurangnya 67 kasus dilaporkan masyarakat yang berkonflik,” kata pria kelahiran Sidikalang, Dairi ini.
Very bilang, dari 67 kasus ini, pertambangan paling banyak mengakibatkan penderitaan pada perempuan. Penderitaan seperti kriminalisasi dan dampak kerusakan lingkungan yang dirasakan perempuan karena berada dalam pusaran konflik sumber daya alam.
Perempuan, katanya, punya peran strategis dalam melestarikan dan menjaga keberlanjutan alam, termasuk di Dairi. Perempuan Dairi tetap turun ke ladang, meski tugas itu sudah berbagi dengan para lelaki. Beban ganda juga akan perempuan alami ketika para lelaki berhadapan dengan hukum karena melawan perusahaan tambang.
Very mengatakan, seharusnya pemerintah menyadari bahwa tambang membawa kesengsaraan bagi masyarakat. Ketika industri ekstraktif itu datang, perlahan masyarakat terusir. Mereka pun tak lagi bertani, tetapi jadi buruh yang berujung pada kemandirian pangan.
“Jangan biarkan tambang yang menguasai tanah-tanah pertanian di Dairi. Jangan biarkan tambang menguasai tanah -tanah pertanian, merusak durian kita, merusak padi kita, merusak kopi kita. Jangan biarkan tambang menghancurkan mimpi-mimpi anak-anak orang-orang sekitarnya menjadi seseorang berpendidikan.”
Durian, salah satu produk unggulan pertanian dari Dairi. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Panen durian di Laeparira, Kabupaten Dairi, Sumut. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
*******
Mahkamah Agung Kabulkan Gugatan Warga, Cabut Izin Lingkungan PT DPM
bencana ekologis, emisi karbon, featured, hutan indonesia, kerusakan lingkungan, Konflik Sosial, Masyarakat Adat, pencemaran, Pertambangan, pertanian, Perubahan Iklim, sumatera
Sumber: Mongabay.co.id