Gua adalah ekosistem yang unik karena memiliki karakteristik lingkungan yang khas, seperti ketiadaan cahaya, mikroklimat yang lebih stabil dibandingkan dengan luar gua, serta sumber bahan organik yang sangat minim. Kondisi-kondisi ini memaksa biota gua untuk beradaptasi agar bisa bertahan hidup.
Beberapa biota yang berhasil bertahan memiliki ciri-ciri morfologi khusus yang disebut dengan troglomorfi, seperti mata yang mengecil atau hilang, kehilangan pigmen tubuh, pemanjangan organ perasa seperti antena dan kaki, serta adaptasi fisiologis lainnya.
Salah satu biota gua yang menarik untuk diulas adalah Amauropelma matakecil, salah satu spesies yang pertama ditemukan tahun 2009 oleh Sidiq Harjanto dan secara resmi diberi nama Amauropelma matakecil oleh Jeremy Miller dan Cahyo Rahmadi pada tahun 2012 di jurnal Zookeys.
Laba-laba matakecil memiliki karakter morfologi yang khas seperti mata yang mengecil dibandingkan kerabatnya di luar gua, tungkai yang memanjang serta warna tubuh yang coklat pucat bahkan di beberapa bagian tampak transparan.
Identitas Laba-laba Amauropelma
Genus Amauropelma merupakan genus yang pertama kali dikenalkan oleh Raven, Stumkat dan Gray pada tahun 2001 untuk spesies yang pertama ditemukan di Australia (Amauropelma trueloves). Genus Amauropelma merupakan anggota Famili Ctenidae yang memiliki karakter dengan ciri-ciri tubuh berukuran sedang hingga besar dengan tubuh yang kokoh dan abdomen yang sedikit memanjang.
- Advertisement -
Karapasnya rendah dan agak datar tanpa pola yang mencolok, dengan bagian anterior yang sedikit terangkat. Mata tersusun dalam dua baris, biasanya dalam konfigurasi 2-4-2, di mana mata median anterior (AME) lebih kecil dan lebih dekat satu sama lain dibandingkan dengan mata lateral anterior (ALE). Mata median posterior (PME) lebih besar dan lebih menonjol.
Kaki laba-laba ini panjang dan ramping, dengan pasangan pertama menjadi yang terpanjang. Kaki memiliki duri khas, terutama pada bagian tibia dan metatarsus, tetapi tidak ada pola atau pita yang mencolok. Spinneret atau alat pemintal jaring berkembang dengan baik, di mana spinneret anterior berbentuk silinder dan spinneret posterior lebih pendek dan berbentuk lebih kerucut.
Pada jantan, palpus memiliki embolus yang berkembang dengan baik dan seringkali melingkar, sedangkan epigin pada betina sederhana dengan spermatheca yang terlihat. Warna tubuh dan kaki Amauropelma umumnya coklat hingga coklat gelap tanpa pola yang mencolok. Spesies ini biasanya ditemukan di daerah hutan, seringkali di serasah daun atau di bawah batu dan gua.
Baca : Sudah Mati 110 Juta Tahun, Mata Laba-laba Ini Masih Bersinar
Laba-laba matakecil (Amauropelma matakecil) di bawah mikroskop dalam pengawet alkohol. Foto : Cahyo Rahmadi
Keanekaragaman Laba-laba Amauropelma
Menurut World Spider Catalog, di dunia diketahui ada 30 spesies Amauropelma yang tersebar dari Australia sampai China. Di Indonesia, Amauropelma matakecil merupakan spesies pertama dari genus Amauropelma yang dikenal. Saat ini, spesies kedua ditemukan di Sumatera yaitu Amauropelma mariae dengan morfologi yang berbeda dengan Amauropelma matakecil yaitu mata yang berkembang dengan baik dan ditemukan di luar habitat gua.
Sebanyak delapan spesies ditemukan hidup di dalam gua, namun hanya empat spesies yang memiliki karakter yang telah teradaptasi di dalam gua yang ditunjukkan dengan mata yang mengecil. Selain di Indonesia, spesies Amauropelma yang memiliki karakter morfologi khas gua ditemukan di Australia (2 spesies), dan India (1 spesies). Sedangkan 5 spesies lainnya yang ditemukan di Thailand (3 spesies) dan China (1 spesies) yang masih memiliki mata yang berkembang dengan baik.
Namun dari empat spesies yang memiliki morfologi khas gua hanya tiga spesies yang benar-benar ditemukan hidup di dalam gua sedangkan satu spesies dari Australia (Amauropelma leo) ditemukan di hutan yang diduga hidup di serasah di lantai gua. Hal ini tentu menarik untuk menjadi bahan diskusi terutama terkait proses evolusi mengecilnya mata di spesies yang ditemukan di dalam gua dan juga di luar gua khususnya di serasah.
Laba-laba Matakecil
Dari 30 spesies yang saat ini dikenal, sebanyak 4 spesies di deskripsi berdasarkan spesimen betina termasuk Amauropelma matakecil sehingga deskripsi untuk jantan belum tersedia hingga saat ini.
Sebelum secara resmi Amauropelma matakecil dipublikasikan, berbagai upaya telah dilakukan untuk mencoba mendapatkan spesimen jantan sehingga deskripsi spesies menjadi lebih lengkap untuk jantan dan betina. Namun usaha pencarian belum berhasil untuk mendapatkan spesimen jantan sampai pada akhirnya diputuskan untuk dipublikasikan berdasarkan spesimen tipe betina di jurnal Zookeys pada tahun 2012.
Amauropelma matakecil memiliki penciri yang mudah diamati yaitu mata yang mereduksi menjadi bintik di bagian depan karapas dan kaki yang memanjang dengan warna tubuh berwarna putih pucat yang tidak ditemukan di spesies Amauropelma lain di Indonesia.
Hingga saat ini, ciri-ciri yang diketahui dari laba-laba matakecil masih berdasarkan spesimen betina, sehingga upaya untuk mendapatkan spesimen jantan menjadi sangat penting. Spesimen jantan akan melengkapi deskripsi yang sudah ada dan menjadi kunci dalam memahami perilaku dan ekologi spesies ini. Namun, jika berbagai upaya telah dilakukan tetapi belum berhasil mendapatkan spesimen jantan, tentu akan muncul lebih banyak pertanyaan yang harus dijawab, dan ini menjadi pekerjaan rumah untuk penelitian di masa mendatang.
Baca juga : Banyak yang Belum Tahu, Ini Peran Laba-laba bagi Manusia
Laba-laba matakecil (Amauropelma matakecil) di habitatnya di dalam gua Nguwik Karst Jonggrangan. Foto: Sidik Harjanto
Mencari pejantan Laba-laba Matakecil
Pada tanggal 15 Agustus 2024, kita kembali berusaha untuk mendapatkan spesimen jantan di gua-gua yang telah diketahui sebagai habitat laba-laba matakecil. Dua gua kita kunjungi salah satunya adalah type locality – lokasi dimana spesimen tipe dikoleksi yang menjadi dasar menentukan penciri spesies – yaitu Gua Anjani dan Gua Seplawan di Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo.
Pencarian yang dilakukan ternyata tidak semudah yang kita bayangkan sebelumnya. Di Gua Anjani, kita harus menempuh lorong gua menyusuri sungai bawah tanah untuk mencapai relung tempat matakecil bersemayam. Sampai di tempat yang dituju, lorong gua yang tidak bersahabat karena kondisi atap gua yang rendah, lantai gua berbatu dan berlumpur membuat pencarian semakin tidak mudah.
Kami berusaha mencari di setiap sudut lorong gua, namun tidak mudah untuk mencari hewan berukuran tubuh 5mm dengan panjang kaki tidak lebih dari 2 cm, berwarna putih kecoklatan di tempat yang gelap dengan posisi merangkak bahkan merayap.
Mereka hidup di lantai gua dengan substrat tanah yang gembur dan lembap. Setelah hampir 30 menit pencarian, ada titik terang satu individu berukuran kecil tampak di depan lubang kecil. Namun sayang, ketika didekati oleh tangan laba-laba matakecil berlari dengan sangat cepat dan hilang dari pandangan. Akhirnya gagal untuk mendapatkan spesimen yang dapat menambah pengetahuan baru taksonomi laba-laba matakecil.
Kembali pencarian dilakukan di lorong yang atapnya semakin rendah, tampak satu individu berada di bawah batu yang dibalik, namun sayang kita kalah cepat dengan gerakan menghindar dari gangguan laba-laba matakecil. Harapan kembali sirna untuk memperoleh informasi lengkap.
Akhirnya, kami merasa putus harapan dan memutuskan untuk keluar gua karena harapan sepertinya belum berpihak pada kami. Sambil berkemas, tiba-tiba mata Sidiq Harjanto tertuju pada batu yang selama ini luput dari pencarian kita. Seekor laba-laba matakecil tampak bertengger di batuan karst di atas sungai kecil, harapan kembali muncul. Belajar dari upaya yang selalu gagal sebelumnya, akhirnya kami berhasil menangkap satu ekor.
Sebelumnya, di relung yang sama sangat mudah menemukan laba-laba matakecil dibandingkan upaya pencarian kita kali ini. Kami hanya berhasil mencatat tiga perjumpaan laba-laba matakecil di Gua Anjani.
Baca juga : Jarang Dilirik, Jaring Laba-Laba Ternyata Bisa Jadi Bioindikator Polusi
Kondisi lorong gua dimana laba-laba matakecil ditemukan hidup di habitatnya di gua Karst Jonggrangan. Foto: Cahyo Rahmadi
Setelah mendapatkan spesimen, kami melanjutkan untuk keluar gua dengan menempuh lorong yang sama dengan naik turun sungai bawah tanah. Selama lebih dari dua jam di dalam gua akhirnya kami kembali mendapatkan sinar matahari yang telah bersinar di atas kepala menunjukkan hari sudah siang dan saatnya beristirahat sebelum melanjutkan pencarian berikutnya.
Pencarian berikutnya kami lakukan di Gua Seplawan yang menjadi gua wisata di Kabupaten Purworejo. Sebelumnya, laba-laba matakecil ditemukan di lorong wisata yang telah dilengkapi dengan penerangan. Pada tahun 2014, kami mencatat beberapa individu ditemukan di lorong wisata dengan jumlah yang cukup banyak.
Berdasarkan catatan tersebut, kami kembali mencoba untuk mencari di relung yang sama dengan menyusuri lorong wisata. Kami akan menghitung kembali berapa individu yang hidup disana dan jika menemukan jantan tentu akan menjadi capaian penting untuk pengetahuan laba-laba matakecil.
Namun sayangnya, kami tidak berhasil menemukan satupun laba-laba mata kecil di lorong wisata. Setiap sudut lorong telah kami telusuri, setiap batuan telah kita balik, dan setiap lubang telah kami intip. Semua tidak membuahkan hasil, akhirnya kami memutuskan menelusuri lorong yang lebih sulit.
Lorong tanpa penerangan, berlumpur tebal dengan kondisi lantai gua yang tidak rata. Menelusuri lorong berlumpur sungguh sebuah perjuangan. Terkadang kami terjebak di dalam lumpur dan memaksa kami harus menarik kaki sekuat tenaga.
Sebaran dan Populasi Laba-laba Matakecil
Gua-gua yang diketahui sebagai habitat laba-laba matakecil, seperti Gua Nguwik, Gua Seplawan, Gua Anjani, dan Gua Suruhan, merupakan sistem ekosistem yang relatif tertutup dan biasanya memiliki sungai bawah tanah bertipe upstream. Lingkungan yang dihuni oleh populasi laba-laba gua ini secara kualitatif ditandai oleh lorong-lorong dengan tingkat kelembapan yang sangat tinggi. Laba-laba ini biasanya mudah ditemukan di dekat genangan air atau aliran kecil yang terdapat di dalam gua. Selain itu, kondisi substrat lantai gua umumnya didominasi oleh tanah yang gembur dan tidak mengalami pemadatan.
Hingga saat ini, sebaran laba-laba matakecil hanya ditemukan di gua-gua di Karst Jonggrangan di Pegunungan Menoreh di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hal ini menunjukkan spesies ini memiliki sebaran yang sangat terbatas dan habitat yang terbatas serta relung yang sangat spesifik.
Estimasi populasi biota gua, termasuk laba-laba matakecil, sangat sulit dilakukan karena belum ada metode yang benar-benar efektif untuk mengukur keberadaan dan jumlah mereka. Tantangan ini semakin nyata pada spesies-spesies obligat, yaitu biota yang sepenuhnya bergantung pada ekosistem gua untuk bertahan hidup. Spesies obligat umumnya memiliki sebaran yang sangat terbatas dan seringkali berada di lokasi yang sangat sulit diakses, atau bahkan tidak dapat diakses sama sekali.
Baca juga : Mengenal Goliath Birdeater, Laba-laba Terbesar di Dunia
Lorong gua Anjani di karst Jonggrangan dengan kondisi yang gelap dan lembap yang menjadi habitat Laba-laba-matakecil. Foto: Cahyo Rahmadi
Perilaku Laba-laba matakecil
Laba-laba matakecil diperkirakan memiliki habitat untuk “menyingkir dan bersembunyi” berupa mesocavern, yang merupakan rongga-rongga kecil di dalam gua, dan mereka keluar dari persembunyian ini untuk mencari makan (foraging). Habitat mesocavern ini termasuk lubang-lubang kecil pada dinding dan lantai gua, serta ruang-ruang tersembunyi di balik bebatuan, dengan ukuran antara 0,1 hingga 20 cm, sesuai dengan definisi Howarth (1993).
Dugaan ini muncul karena tingkat perjumpaan dengan laba-laba matakecil cenderung fluktuatif; pada waktu-waktu tertentu mereka mudah ditemukan, sementara pada waktu lain sangat jarang terlihat. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa laba-laba ini menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam mesocavern dan hanya keluar pada waktu tertentu untuk mencari makan atau melakukan aktivitas lainnya.
Laba-laba matakecil menunjukkan perilaku unik dalam menanggapi rangsangan dari lingkungannya. Meskipun tidak merespon cahaya yang didekatkan, laba-laba ini sangat peka terhadap sentuhan, aliran udara, dan getaran. Saat merasa terganggu, mereka akan bergerak cepat untuk mencari perlindungan, sering kali bersembunyi di balik batu atau masuk ke dalam celah-celah kecil pada substrat atau dinding gua.
Dalam pengamatan, laba-laba matakecil diketahui memangsa miliped, kemungkinan dari keluarga Cambalopsidae. Selain miliped, potensi mangsa lainnya di zona gelap gua termasuk organisme khas lainnya seperti nocticolid dan isopod, yang juga menunjukkan karakteristik troglomorfik. Laba-laba ini hidup berdampingan dengan jenis-jenis tersebut di habitat gua, berbagi ruang dan sumber daya yang terbatas di ekosistem yang unik ini.
Perlu dibaca : Stenasellus Javanicus, Isopoda Gua Merah Jambu Yang Terancam Punah
Gua Seplawan yang menjadi habitat laba-laba matakecil juga menjadi tempat wisata dengan fasilitas penerangan. Foto: Cahyo Rahmadi
Ancaman Habitat Laba-laba Matakecil
Aktivitas wisata dan penelusuran di gua-gua yang menjadi habitat bagi laba-laba matakecil, seperti Seplawan, Nguwik, dan Anjani, telah meningkatkan ancaman signifikan terhadap keberlangsungan hidup spesies troglobiont ini. Ancaman tersebut mencakup perubahan kondisi mikroklimat yang sensitif, pencemaran akibat sampah yang ditinggalkan oleh pengunjung, hingga risiko bahaya mekanis seperti terinjaknya laba-laba oleh para penelusur.
Selain itu, di Gua Suruhan yang terletak di Jatimulyo, terdapat indikasi bahwa gua ini mungkin terkoneksi dengan jumbleng (sumur atau lubang pembuangan) yang digunakan sebagai tempat pembuangan sampah, terlihat dari banyaknya sampah rumah tangga yang ditemukan di dalam gua tersebut. Gua ini belum dipetakan sepenuhnya, sehingga potensi ancaman bagi fauna endemik, seperti laba-laba matakecil, semakin sulit diidentifikasi dan diatasi.
Contoh lain dari ancaman terhadap spesies gua di Indonesia dapat ditemukan pada Gua Luweng Jaran di Pacitan, yang menjadi habitat bagi berbagai jenis fauna troglobiont. Aktivitas manusia yang tidak terkendali di sekitar gua ini juga berpotensi merusak ekosistem yang sangat rapuh, seperti perubahan kualitas air dan hilangnya spesies endemik akibat gangguan habitat.
Spesies lain yang menghadapi ancaman serupa adalah kumbang gua dari genus Leiodidae, yang juga bergantung pada kondisi gua yang stabil untuk bertahan hidup. Perlindungan terhadap gua-gua ini sangat penting untuk menjaga keanekaragaman hayati yang unik di Indonesia.
Arahan Di Masa Depan
Berdasarkan kondisi saat ini, beberapa hal yang dapat menjadi arahan ke depan antara lain:
Kelengkapan Informasi Taksonomi: Perlu dilanjutkan upaya pencarian spesimen jantan untuk melengkapi deskripsi taksonomi Amauropelma matakecil. Penelitian mendetail tentang anatomi dan morfologi jantan penting untuk memahami perbedaan dimorfisme seksual dan perilaku reproduksi spesies ini.
Monitoring Populasi dan Sebaran: Mengingat sebaran yang sangat terbatas dan habitat yang spesifik, penting untuk melakukan pemantauan rutin terhadap populasi laba-laba matakecil di gua-gua Karst Jonggrangan. Metode yang lebih efektif untuk mengestimasi populasi biota gua juga perlu dikembangkan untuk memahami dinamika populasi dan fluktuasi habitat.
Studi Ekologi dan Perilaku: Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami perilaku foraging, reproduksi, dan interaksi dengan spesies lain di ekosistem gua. Perhatian khusus perlu diberikan pada perilaku “menyingkir dan bersembunyi” di mesocavern, serta bagaimana hal ini mempengaruhi distribusi dan kelangsungan hidup spesies.
Mitigasi Ancaman: Diperlukan langkah-langkah konservasi untuk mengurangi dampak aktivitas manusia, terutama terkait dengan pariwisata gua dan pencemaran dari sampah domestik. Ini mencakup regulasi akses wisata, pengelolaan sampah, serta perlindungan fisik terhadap habitat troglobiont. Penelitian lebih lanjut tentang dampak spesifik dari perubahan mikroklimat akibat intervensi manusia sangat penting untuk membangun strategi mitigasi yang efektif.
Pemetaan Gua dan Habitat: Pemetaan gua secara menyeluruh, terutama di lokasi-lokasi yang belum terpetakan seperti Gua Suruhan, sangat penting untuk memahami konektivitas habitat dan potensi ancaman yang belum teridentifikasi. Pemetaan ini juga akan mendukung upaya konservasi yang lebih terarah.
Edukasi dan Kesadaran Publik: Meningkatkan kesadaran masyarakat dan wisatawan tentang pentingnya ekosistem gua dan spesies endemik seperti laba-laba matakecil sangat penting. Program edukasi dan keterlibatan komunitas lokal dapat membantu dalam upaya perlindungan jangka panjang.
Dengan fokus pada penelitian yang mendalam dan tindakan konservasi yang terkoordinasi, diharapkan keberlangsungan hidup Amauropelma matakecil dan ekosistem gua di Karst Jonggrangan dapat terjaga. (***)
*Cahyo Rahmadi, Peneliti biologi gua di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN
**Sidiq Harjanto, Penelusur gua di Indonesia Speleological Society (ISS)
Artikel ini adalah opini hasil penelitian penulis
Opini : Karst, Habitat Biota Dengan Fungsi Ekologis Penting Yang Harus Dilindungi
Sumber: Mongabay.co.id