- Konflik manusia dengan gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] kembali terjadi di Sumatera Selatan.
- Kali ini, yang menjadi korban adalah perempuan bernama Karsini [34], warga Satuan Permukiman [SP] 5 Hutan Tanaman Industri [HTI] Desa Tri Anggun Jaya, Kecamatan Muara Lakitan, Kabupaten Musi Rawas. Karsini bukan korban pertama konflik manusia dengan gajah di desanya, yang masuk lanskap Semangus dan merupakan kantong gajah.
- Semangus, bagian dari landskap Benakat-Semangus yang luasnya mencapai 259.801 hektar, merupakan habitat gajah sumatera, harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] dan trenggiling [Manis javanica].
- Konflik antara manusia dengan gajah, pada dasarnya dikarenakan lemahnya pemahaman masyarakat terhadap perilaku gajah.
Konflik manusia dengan gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] kembali terjadi di Sumatera Selatan. Kali ini, yang menjadi korban adalah perempuan bernama Karsini [34], warga Satuan Permukiman [SP] 5 Hutan Tanaman Industri [HTI] Desa Tri Anggun Jaya, Kecamatan Muara Lakitan, Kabupaten Musi Rawas.
Minggu [8/9/2024] pagi, Karsini dan suaminya pergi kebun karet untuk menyadap getah. Sekitar pukul 06.00 WIB, mereka melihat kawanan gajah. Karsini dan suaminya lari ketakutan, tapi malang Karsini yang hamil lima bulan terjatuh. Dia terinjak gajah yang mengejarnya.
Karsini bukan yang pertama menjadi korban. Pada 2021 lalu, Adi Yos Mura [43], juga warga SP 5 HTI Desa Tri Angun Jaya, tewas karena diserang gajah. Yos ditemukan tidak bernyawa, sekitar seratus meter dari pondoknya, Kamis [29/07/2021] malam.
Sekitar November 2023, beberapa individu gajah masuk ke Desa Trianggun Jaya. Dikutip metrotvnews, sejumlah gajah tersebut melintasi pemukiman yang dulunya jalur jelajahnya.
SP 5 HTI Desa Tri Anggun Jaya, merupakan kawasan transmigran berupa Desa HTI yang dibuka pemerintah pada 1996, di kawasan hutan Semangus. Ada enam Desa HTI di kawasan ini, yakni SP 5 Trianggun jaya, SP 6 Bumi Makmur, SP 7 Pian Raya, SP 9 Harapan Makmur, SP 10 Mukti Karya, dan SP 11 Sindang Raya.
- Advertisement -
Sebelumnya, sebuah perusahaan HTI yakni PT Barito Pacific -kini menjadi PT Musi Hutan Persada [PT MHP]- mendapatkan izin konsensi lahan seluas 100 ribu hektar di wilayah Kabupaten Musi Rawas. Salah satunya, di Hutan Adat Semangus seluas 70 ribu hektar. Mereka membuat HTI dari 1992-1996.
Baca: Penelitian tentang Kecerdasan Gajah dapat Membantu Mitigasi Konflik Manusia dan Satwa
Tanda jalur lintasan gajah di jalan kawasan HTI PT Musi Hutan Persada, di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Yusmono, pejabat BKSDA [Balai Konservasi Sumber Daya Alam] Lahat yang wilayah kerjanya hingga Kabupaten Musi Rawas, dikutip dari idntimes.com, mengatakan pihaknya belum dapat memastikan lokasi kebun tempat kejadian merupakan jalur konservasi [gajah].
“Namun, daerah tersebut sudah dikenal sebagai jalur jelajah gajah liar,” katanya.
Dijelaskan Yusmono, di kawasan tersebut diperkirakan terdapat kawanan gajah yang jumlahnya berkisar 40-50 individu. Dia menduga, gajah-gajah tersebut masuk ke area yang dekat pemukiman warga dikarenakan konversi hutan [habitat gajah] diubah menjadi perkebunan akasia.
Agar konflik tidak berlanjut, katanya, pihaknya akan mengundang pihak-pihak terkait terutama PT MHP, untuk mendiskusikan penanganan gajah liar di landskap tersebut.
Konflik manusia dengan gajah yang memakan korban jiwa di Sumatera Selatan, bukan hanya terjadi di bentang alam Semangus. Di lanskap Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], juga terjadi konflik manusia dengan gajah.
Abdul Karim [21], warga Dusun Belanti, Desa Banyubiru, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, yang juga karyawan perusahaan HTI [Hutan Tanaman Industri] PT BAP [Bumi Andalas Permai], tewas terinjak gajah liar di lahan perusahaan tersebut, Selasa [19/07/2022] sekitar pukul 01.45 WIB. Lokasi kejadian, tidak jauh dari Desa Jelutung, Kecamatan Air Sugihan.
Baca: Dulu Bersahabat, Kenapa Sekarang Manusia Memusuhi Gajah?
Tanda jalur jelajah gajah di kawasan HTI PT Musi Hutan Persada, di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Habitat Benakat-Semangus
Dikutip dari publikasi BKSDA Sumatera Selatan, Semangus merupakan bagian dari kantong habitat gajah Benakat Semangus yang luasnya mencapai 259.801 hektar. Kawasan ini berada di Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], Kabupaten Lahat, dan Kabupaten Muara Enim.
Landskap Benakat Semangus didominasi hutan tanaman seluas 108.753 hektar dan pertanian lahan kering seluas 92.000 hektar. Kawasan ini terdiri semak belukar, perkebunan, rawa, dan pemukiman.
Selain gajah sumatera, fauna kunci di wilayah ini adalah harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] dan trenggiling [Manis javanica] yang berdasarkan Red List IUCN termasuk kategori Kritis [Critically Endangered]. Pada wilayah Benakat Semangus juga ditemukan berbagai jenis kantong semar [Nepenthes spp.], anggrek macan [Gramatophyllum scriptum], dan gaharu [Aquilaria malaccensis].
Sementara jenis pohon yang dilindungi, misalnya binuang [Octomeles sumatrana], kemiri [Aleurites molluccana], kelompok meranti [Shorea spp.], dan kelompok medang [Litsea spp.] seperti lemo [Litsea cubeba].
Baca: Konflik Manusia dengan Gajah di Koridor Sugihan-Simpang Heran Memakan Korban
Tanaman milik PT Musi Hutan Persada di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, yang berada di sekitar koridor gajah sumatera. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Pemahaman perilaku gajah
Konflik antara manusia dengan gajah, seperti yang menimpa Karsini, pada dasarnya dikarenakan lemahnya pemahaman masyarakat terhadap perilaku gajah.
“Misalnya, waktu istirahat gajah itu pagi hari, dari pukul 05.00 hingga 10.00. Pada waktu gajah istirahat, jangan sesekali mengusiknya. Apalagi di kawanan itu ada anak gajah,” kata Syamsuardi, Ketua PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa] kepada Mongabay Indonesia, Kamis [12/7/2024].
Syamsuardi menduga, konflik yang memakan korban itu dikarenakan kawanan gajah yang tengah istirahat terusik kehadiran manusia.
“Sementara, penyebab meninggal karena diinjak, kemungkinan besar dilakukan gajah betina. Nah, kalau ada gajah betina jelas adalah kawanan gajah. Kawanan gajah itu, gajah dewasanya adalah gajah betina.”
Pemahaman terhadap perilaku gajah, jelas Syamsuardi, sangat penting diketahui oleh kelompok masyarakat yang menetap dan berkebun di kawasan yang diketahui sebagai habitat gajah.
“Dapat dipastikan, setiap kawasan yang pernah didatangi gajah akan didatangi kembali. Waktunya tidak menentu. Bisa puluhan atau belasan tahun. Tapi sekarang, ketika banyak hutan terbuka, kawanan gajah bisa kembali ke suatu tempat sekitar lima tahun.”
Terhadap masyarakat yang menetap di kawasan dekat habitat atau jalur gajah, sebaiknya tidak beraktivitas di kebun pada pagi dan malam hari.
“Sebab, itu waktunya gajah bergerak dan istirahat. Kalau kawanan gajah telah pergi, warga dapat berkegiatan seperti semula.”
Selain itu, penting diberikan tanda peringatan pada kawasan yang pernah dilewati atau didiami gajah.
“Sehingga, warga selalu waspada,” paparnya.
Baca juga: Manusia dan Gajah Hidup Berdampingan Sejak Zaman Megalitikum
Kelompok gajah liar yang terpantau di kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]
Etika kehidupan
Yusuf Bahtimi, kandidat Doktor di The Queen’s College, University of Oxford di Inggris, yang tengah menyelesaikan kajian mengenai koeksistensi manusia dan gajah di Sumatera Selatan, menjelaskan, selama berabad manusia di Sumatera hidup harmonis dengan gajah, termasuk dengan harimau.
“Hubungan harmonis itu melahirkan sejumlah etika yang dipahami manusia dengan gajah,” jelasnya, Jumat [13/9/2024].
Etika itu mulai dari pembagian ruang hidup, sumber pangan, dan cara berkomunikasi dalam menyelesaikan sebuah konflik.
“Etika ini menjadi pengetahuan yang diturunkan dalam beberapa generasi, sebelum hadirnya para pendatang di era pemerintahan Hindia Belanda yang merusaknya. Tapi, sebagian besar masyarakat yang hidup di sekitar habitat gajah tetap menjaganya.”
Terkait sering terjadinya konflik manusia dengan gajah di wilayah sekitar habitat atau kantong gajah di Sumatera Selatan maupun wilayah lainnya di Sumatera, jelas Yusuf, seharusnya tidak akan terjadi. Jika, mereka belajar etika tersebut.
“Cara untuk memahami etika adalah belajar dengan masyarakat lokal, yang hidup harmonis dengan gajah selama belasan abad.”
Pengetahuan ini juga harus dipahami pemerintah maupun pelaku usaha, sehingga berbagai aktivitas pembangunan dan ekonomi, tidak menghilangkan etika tersebut.
“Terjaganya etika hubungan manusia dengan gajah, maka terhindarlah berbagai konflik manusia dengan gajah,” tuturnya.
Historiografi Hubungan Gajah dengan Manusia di Sumatera Selatan
Sumber: Mongabay.co.id