- Kampung Jor Desa Jerowaru, Lombok Timur, NTB terkenal sebagai sentra pembuatan terasi. Bahan bakunya udang kecil bisa didapatkan dengan mudah di perairan sekitar desa
- Perubahan iklim dan perubahan ekologis pesisir membuat hasil tangkapan udang menyusut. Nelayan semakin jauh mencari udang. Akibatnya biaya produksi terasi meningkat
- Perubahan ekologis pesisir turut memengaruhi produksi terasi. Perusakan hutan mangrove untuk tambak, pembuangan sampah,keramba yang tidak terkontrol menjadi masalah baru
- Selain memperkuat regulasi pengaturan pesisir, perlu juga mengaktifkan lembaga adat langlang yang bisa menjadi pengawas kelestarian lingkungan pesisir Lombok Timur
Indrawati membalik udang kecil yang dijemur di atas badan perahu. Sebuah anyaman bambu digunakan sebagai tempat penjemuran udang itu. Dia harus hati-hati saat membalik atau saat memindahkan ke tempat penjemuran lainnya. Salah sedikit saja, udang yang dikenal dengan ebi itu bisa tumpah.
Seluruh hidup keluarga kecil di pesisir Jor, Desa Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini bergantung pada udang kecil itu. Peluh suaminya selama semalam melaut bisa hilang hanya karena kurang hati-hati menjemur udang. Satu wadah penjemuran itu bisa seharga Rp50.000 jika sudah kering.
“Sekarang semakin susah mencari udang,’’ katanya saat ditemui beberapa waktu lalu.
Udang kecil ditangkap dengan cara menjaring. Suaminya, Rusman banyak menangkap udang kecil ini karena pasti ada pembelinya. Bahkan sebelum udang itu kering sudah ada yang memesan. Jika sedang banyak permintaan, pembeli memesan jauh hari agar berapa pun udang yang didapatkan Rusman. “Daripada mencari ikan yang lebih jauh, mahal minyak (BBM),’’ katanya.
Udang kecil bisa ditangkap dengan mudah di sekitar perairan Teluk Jukung, teluk yang berada di Desa Jerowaru, Desa Pare Mas, Desa Maringkik. Berbeda jika harus menangkap cumi dan gurita kadang berlayar sampai dekat perairan Sumbawa yang membutuhkan BM lebih banyak. Menangkap ikan pun demikian. Jika tangkapan ikan banyak, belum tentu harga tinggi. Menangkap udang sudah jelas harganya. Sangat sulit turun. Hanya saja hasil tangkapan yang tidak pernah banyak.
Dalam sehari, keluarga yang rumahnya persis di bibir pantai ini mendapatkan Rp70.000 – Rp140.000. Jika hasil tangkapan bagus, bisa mengantongi Rp300.000 sehari. Untuk biaya BBM, makan, dan rokok selama melaut tidak terlalu banyak. Lokasi menangkap udang ini masih seputaran perairan Kecamatan Jerowaru dan Kecamatan Keruak.
- Advertisement -
Baca : Terasi Batu Betumpang Bertahan karena Laut dan Mangrove Terjaga
Terasi adalah salah satu produk unggulan dari kampung Jor, Desa Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Bahan bakunya udang kering (ebi) yang didapatkan dari perairan sekitar desa. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia
Udang yang dikeringkan yang disebut ebi ini menjadi makanan favorit masyarakat Lombok. Ebi bisa dicampurkan langsung ke hampir semua masakan. Menjadi campuran nasi goreng, menjadi penyedap rasa untuk sambal, menjadi penyedap rasa sayur asam maupun sayur santan. Paling utama udang ini menjadi bahan baku pembuatan terasi.
Kampung Jor adalah sentra pembuatan terasi di Lombok Timur. Jika melintas di kampung ini, harus siap mencium aroma terasi. Sepanjang pinggir jalan, di halaman rumah warga berjejer tempat penjemuran terasi. Inilah yang membuat Indrawati dan Rusnan tidak khawatir hasil tangkapannya tidak laku.
Usaha terasi di Jor berlangsung puluhan tahun, dari generasi ke generasi. Seperti Pak Sarti yang kini meneruskan usaha terasi setelah istrinya meninggal dunia. Dia sebenarnya bukan asli Jor, rumahnya dari kawasan pegunungan di Lombok Utara. Setelah menikah dengan perempuan Jor, mereka membuka usaha terasi.
“Keluarga pembuat terasi di sini rata-rata sudah keturunan, kakek nenek, orang tua,’’ katanya.
Kekurangan Bahan Baku Ebi
Usaha terasi Pak Sarti yang diberi merek Jero Acan cukup dikenal karena selalu menggunakan ebi segar, terjamin kebersihan, dan penggunaan peralatan modern berupa mesin pemanggang ketika musim hujan. Pada musim panas, dia menjemur di balai jemur yang tertutup. Berbeda dengan usaha terasi lainnya yang dijemur di halaman terbuka sampai pinggir jalan.
Harga terasi Jero Acan yang sudah berlabel halal ini sedikit lebih mahal dibandingkan terasi lainnya. Tapi Pak Sarti tidak pernah khawatir pembeli. Berapa pun produksinya selalu habis. Sering kali kekurangan. Kadang dipesan lebih dahulu. Pasar lokal menyerap banyak terasi. Sejak dulu sampai sekarang tidak pernah ada masalah pemasaran.
“Bahan baku yang mengkhawatirkan. Pas dapat pesanan banyak, bahan baku yang kurang,’’ katanya.
Baca juga : Pertama di Indonesia, Teluk Jukung Lombok Timur ditetapkan Jadi Sentra Budidaya Lobster
Nelayan menjemur udang hasil tangkapan di pesisir Desa Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Hasil tangkapan selalu habis terjual. Tantangannya semakin sedikit udang yang berhasil ditangkap. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia
Dulu bahan baku udang kecil bisa dipenuhi oleh para nelayan di Desa Jerowaru. Semua hasil tangkapan bisa diserap. Para pengrajin terasi tinggal menunggu bahan yang sudah kering. Langsung dibayar saat itu juga. Kini jika tidak memesan jauh hari belum tentu dapat bahan. Kalau pun dapat harganya mahal. Berkisar Rp40.000–Rp70.000/kg.
“Udang yang sulit sekarang. Dulu jaring dekat sini sudah dapat banyak, sekarang semakin jauh, dan udangnya semakin sedikit,’’ katanya.
Para pembuat terasi kadang memesan bahan baku ke Pulau Sumbawa dan Surabaya. Pernah juga datang dari Kalimantan. Tapi jika memesan dari jauh, kualitasnya beragam. Ada yang masih segar, ada yang sudah mulai busuk. Pak Sarti khawatir bisa menurunkan kualitas terasinya.
“Kalau kebutuhan mingguan, kami butuh rata-rata 1 kuintal,’’ katanya.
Perubahan Iklim dan Kerusakan Pesisir
Membuat terasi adalah pekerjaan paling mudah dan murah bagi warga di pesisir Desa Jerowaru. Selain membuat terasi mereka juga mencari ikan dan kerang saat air laut surut (madak), serta mencari kepiting dan ikan di hutan mangrove. Menjual ikan ke pasar tradisional.
Usaha masyarakat di pesisir ini sangat bergantung dengan kelestarian pesisir. Tantangan saat ini karena perubahan iklim dan perubahan ekologis pesisir. Di perairan Teluk Jukung kini semakin banyak keramba jaring apung. Persaingan ruang pemanfaatan laut, termasuk perubahan kondisi perairan.
Saat yang sama terjadi alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak udang. Pada musim tertentu, saat pembersihan tambak, limbah dibuang ke laut. Gabungan dampak perubahan iklim secara global dan perubahan ekologi pesisir skala lokal turut memengaruhi usaha masyarakat sekitar.
“Masalah di pesisir ini belum ada regulasi yang mengatur. Misalnya saja soal pengaturan keramba,’’ kata Basri Mulyani, Rektor Universitas Gunung Rinjani (UGR) yang menyelenggarakan diskusi adaptasi perubahan iklim masyarakat pesisir Lombok Timur beberapa waktu lalu.
Basri yang juga seorang peneliti hukum ini menyampaikan kasus-kasus yang terjadi di pesisir sekarang termasuk di Jerowaru karena lemahnya regulasi. Perusakan mangrove, perebutan ruang pemanfaatan laut untuk berbagai usaha sudah sering terjadi. Karena itulah dia mengusulkan agar perlu membuat aturan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Baca juga : Selamatan Laut Masyarakat Lombok : Menjaga Ekosistem Laut dan Menolak Bencana (1)
Keramba jaring apung semakin banyak di perairan Desa Jerowaru dan Desa Pare Mas, Lombok Timur, NTB. Perlu regulasi untuk mengatur keberadaan keramba ini agar mencegah konflik sosial dan menjaga kondisi perairan. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia
Direktur Lembaga Pengembangan Sumberdaya Nelayan (LPSDN) Amin Abdullah mengatakan kelestarian daerah pesisir Jerowaru vital bagi penyediaan bahan baku berbagai produk perikanan dan kelautan, termasuk terasi. Selain itu, banyak warga pesisir khususnya perempuan yang hidupnya sangat bergantung pada hasil laut. Mereka bukan nelayan yang pergi menangkap ikan, tetapi mengumpulkan berbagai hasil pesisir untuk konsumsi, diolah, maupun dijual.
“Sebenarnya usaha-usaha perempuan pesisir ini punya andil dalam upaya konservasi,’’ katanya.
Misalnya saja terkait kelestarian hutan mangrove. Hutan mangrove yang terjaga menjadi sumber pangan warga pesisir seperti kepiting, ikan, dan kerang. Jualan kerang, kepiting dan kerupuk cangkang kepiting yang menjadi usaha perempuan di Desa Pare Mas bisa terganggu jika mangrovenya rusak. Begitu juga ekowisata mangrove yang mulai berkembang akan ditinggalkan jika hutan mangrove rusak.
“Perubahan mangrove jadi tambak berkontribusi besar perusakan mangrove. Status mangrove belum clear, berapa tumbuh di tanah negara, berapa di tanah pribadi,’’ kata Amin yang juga warga pesisir ini.
Dalam kesempatan yang sama, mantan Bupati Lombok Timur Ali Bin Dachlan yang berlatarbelakang pegiat lingkungan menuturkan, mangrove di pesisir Jerowaru merupakan salah satu lokasi kegiatannya ketika masih aktif sebagai pegiat lingkungan. Dia menanam sejak tahun 90-an. Ketika menjadi bupati Lombok Timur tahun 2008-2013, dia banyak membuat kebijakan untuk melindungi pesisir.
“Tapi kemudian aturan berubah, diambil alih oleh pusat. Semakin jauh pihak yang mengurusnya, di sana semakin banyak terjadi kerusakan,’’ katanya.
Ali mencontohkan, ketika urusan pesisir termasuk juga hutan menjadi kewenangan kabupaten, dia menganggarkan di APBD Kabupaten Lombok Timur untuk petugas yang mengawasi. Petugas dari masyarakat itu dikenal dengan nama lang-lang. Kelompok lang-lang ini dulu pernah kuat sebagai penjaga wilayah adat. Lang-lang inilah yang direvitalisasi kembali oleh Ali.
“Dulu kami berikan mereka beras sebagai bentuk penghargaan atas usaha mereka menjaga,’’ pungkasnya. (***)
Air Semakin Dekat, Ikan Semakin Jauh : Dampak Perubahan Iklim di Pesisir Lombok (2)
Sumber: Mongabay.co.id