- Puluhan tahun Nurchayati, hidup di pesisir Mangunharjo, Mangkang, Semarang, Jawa Tengah. Sempat tinggal dalam was-was karena berada dalam ancaman abrasi dan banjir rob ketika hutan mangrove tergerus antara lain karena meluasnya tambak ikan. Bersama sang suami, Sururi, berupaya menghutankan pesisir dengan menanam mangrove. Tujuan awal, demi menyelamatkan rumah mereka dari terjangan ombak yang terus mengikis daratan.
- Buah dari perjuangan menghutankan pesisir, Nurchayati pun menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk kategori perintis lingkungan pada 5 Juni 2024.
- Pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an, abrasi pesisir Mangunharjo, Mangkang, Semarang, sudah parah. Bibir pantai semula sekitar 1,6 kilometer dari pemukiman berubah jadi 500-an meter. Air laut kerap masuk ke jalan kampung kalau ombak tinggi. Tangkapan ikan nelayan berkurang drastis.
- Setelah hutan mangrove kembali, ekosistem pun berangsur pulih. Mulai terlihat burung kuntul beterbangan di hutan mangrove siang menjelang sore itu. Perlahan namun pasti, selain pemulihan ekosistem, hasil secara ekonomi pun mereka dapatkan dari jual bibit mangrove. Setelah 20-an tahun mulai terlihat buah ketekunan dan ketelatenan pasangan ini. Bibir pantai kembali melebar, tambak kembali dibuka dengan pembatasan benteng mangrove. Hasil melaut nelayan kembali menjanjikan.
Puluhan tahun Nurchayati, hidup di pesisir Mangunharjo, Mangkang, Semarang, Jawa Tengah. Sempat tinggal dalam was-was karena berada dalam ancaman abrasi dan banjir rob ketika hutan mangrove tergerus antara lain karena meluasnya tambak ikan. Bersama sang suami, Sururi, berupaya menghutankan pesisir dengan menanam mangrove. Tujuan awal, demi menyelamatkan rumah mereka dari terjangan ombak yang terus mengikis daratan.
- Advertisement -
Hasil tak menghianati kegigihan berusaha. Puluhan tahun tekun dan pantang menyerah, hamparan hutan mangrove di pesisir Semarang, Jawa Tengah, seluas 88 hektar ini jadi tameng melawan abrasi.
Buah dari perjuangan menghutankan pesisir, Nurchayati pun menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk kategori perintis lingkungan pada 5 Juni 2024.
Lokasi pembibitan mangrove dengan lahan sewaan. Foto: Wulan Yanuarwati/Mongabay Indonesia
Terancam abrasi, hilang penghidupan
Nurchayati berjalan di antara rerimbunan mangrove siang itu, sembari mengenang masa-masa sulit. Mentari begitu terik, tetapi pepohonan mangrove melindungi mereka yang berada di bawahnya. Angin berembus menerpa dedaunan.
Usia pohon-pohon itu hampir 30 tahun. Mereka jadi saksi bisu suka duka perempuan lulusan sekolah menengah pertama ini dan suami.
Nurchayati menikah dengan Sururi pada 1984. Suaminya mendapatkan peninggalan tambak udang dan bandeng dari orangtua. Kehidupan keluarga mereka baik-baik saja sampai 1990, abrasi di pesisir utara Jawa mulai mengancam. Perluasan tambak makin menggerus vegetasi alami hingga abrasi makin parah.
Pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an, abrasi di sana sudah parah. Bibir pantai semula sekitar 1,6 kilometer dari pemukiman berubah jadi 500-an meter. Air laut kerap masuk ke jalan kampung kalau ombak tinggi. Tangkapan ikan nelayan berkurang drastis. Perlahan, tambak yang menghasilkan dan sebagai gantungan penghidupan mulai hilang pada 1995. Suaminya lalu mencari peruntungan ke negeri jiran, Malaysia sebagai kuli bangunan.
“Saya ditinggal suami merantau ke Malaysia dengan tiga anak waktu itu. Hidup susah, jualan makanan jajanan ke sana sini,” katanya.
Dewi fortuna belum berpihak pada mereka. Sururi kembali ke Semarang. Nurchayati menyakini kedatangan suami kembali ke Indonesia jauh lebih baik daripada tertindas di negeri orang.
Mereka pun berpikir keras. Memulai dari nol, pasangan ini mulai menanam mangrove dengan tujuan awal sebagai upaya menyelamatkan tempat tinggal satu-satunya dari abrasi. Selain itu, dia tetap berjualan dan suami cari ikan.
Dia mengenang masa berat, makan pun susah apalagi menyekolahkan anak-anaknya. Belum lagi mereka diolok-olok banyak orang karena menanam mangrove.
Sekarang, justru kerap orang mengklaim hasil kerja kerasnya bersama keluarga. Bahkan, Sunuri dapat julukan Kiai Mangrove.
Upaya menanam mangrove sebagai benteng pertahanan abrasi tak lepas dari peran Sudharto, seorang profesor dari Universitas Diponegoro (Undip). Dukungan terus diberikan kepada keluarganya sejak pertemuan tanpa sengaja saat itu.Bibit mangrove mereka peroleh dari bantuan dan donasi.
“Saya nanam mangrove sambil gendong anak,” katanya mengenang masa awal tanam mangrove.
Nurchayati dan Sururi memegang penghargaan Kalpataru. Foto: Wulan Yanuarwati/Mongabay Indonesia
Tekad pasangan ini bulat dan semangat kukuh. Di tengah kesusahan itu, Nurchayati bertekad anak-anaknya bisa sekolah untuk memutus rantai kemiskinan.
“Bapak sempat gak bolehin anak sekolah, takut gak bisa bayar SPP. Tapi gimana caranya harus bisa,” kata perempuan yang kini kerap diundang jadi pembicara dalam pertemuan bertajuk ekologis dan penguatan perempuan ini.
Anaknya pun mereka ajari pentingnya menanam mangrove.“Enam anak ini semua diajak nanam mangrove. Saya bilang tanam agar rumah nggak tenggelam. Awalnya cuma mikir begitu,” katanya.
Keenam membantu orang tuanya menanam mangrove pulang dari sekolah.
“Mereka bantu orangtua nanam mangrove. Alhamdulillah. Sekolah juga tetap rajin,” katanya, seraya bilang sempat mendapat cibiran dari guru sekolah anaknya yang meragukan mereka bisa bayar uang sekolah.
Kini, keenam anaknya sudah selesai kuliah. Fajril Izza, anak bungsunya berusia 22 tahun baru lulus dari Universitas Diponegoro Agustus 2024.
“Jadi, apa yang dulu ditanam bapak ya yang menikmati anak cucunya,” katanya.
Sambil kuliah, Fajril tetap membantu kedua orang tuanya menjual dan mengantar bibit mangrove ke pelbagai daerah, seperti Rembang, Pati, Batang, Demak, dan Yogyakarta. Fajril pandai membagi waktu dan tidak meninggalkan kuliah. Dia lulus dengan predikat cum laude.
“Kuliah aja udah capek kok masih kerja? Ada yang bilang gitu. Kenapa kerja terus gak have fun? Biasanya orang-orang malam Minggu, saya udah capek ya istirahat,” kata Fajri.
Setelah hutan mangrove kembali, ekosistem pun berangsur pulih. Mulai terlihat burung kuntul beterbangan di hutan mangrove siang menjelang sore itu. Perlahan namun pasti, selain pemulihan ekosistem, hasil secara ekonomi pun mereka dapatkan dari jual bibit mangrove.
Untuk pembibitan mangrove, keluarga ini masih menyewa lahan dengan bayar tahunan, berdekatan dengan rumah peninggalan orangtua. Mereka belum punya tanah sendiri.
Setelah 20-an tahun mulai terlihat buah ketekunan dan ketelatenan pasangan ini. Bibir pantai kembali melebar, tambak kembali dibuka dengan pembatasan benteng mangrove. Hasil melaut nelayan kembali menjanjikan.Satu persatu, cita-cita Nurchayati terwujud. Termasuk berangkat ke tanah suci berziarah ke makam Rasulullah dan ke Makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan.
***
Meskipun hutan mangrove Mangunharjo sudah rimbun lagi. Ekosistem pesisir mulai pulih tetapi perjuangan Nurchayati dan keluarga belum selesai.
Para pihak banyak tanam mangrove di sana pemerintah maupun swasta. Banyak instansi membeli bibit kemudian menanam di kawasan itu. Meskipun begitu, hutan mangrove Mangunharjo belum terlindungi karena secara umum area dalam ‘penguasaan’ pengembang.
Dalam tata ruang, katanya, lokasi itu masuk kawasan industri. “Berharap, ada perubahan tata tata ruang dan lokasi hutan mangrove jadi ruang terbuka hijau.”
Nurchayati,penerima penghargaan Kalpataru dari Desa Mangunharjo, Mangkang, Semarang, Jawa Tengah. Dia berdiri di antara hutan mangrove yang dia tanam bersama suami dan anak-anaknya selama puluhan tahun. Foto: Wulan Yanuarwati/Mongabay Indonesia
*******
Pulihkan Mangrove di Pesisir Lamongan, Burung-burung Datang Kembali
Sumber: Mongabay.co.id