- Para nelayan di Desa Samajatem, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah berupaya memperbaiki pola tangkap gurita mereka. Kini, mereka terapkan model buka tutup. Istilahnya, nelayan menabung dulu dengan memberikan kesempatan gurita berkembang dan tumbuh besar, baru mereka panen. Hasilnya, sudah mulai mereka rasakan.
- Sebelumnya, praktik penangkapan ikan tak ramah lingkungan, sangat tinggi di Samajatem, seperti tangkap ikan pakai bom maupun racun. Kondisi ini, menyebabkan hasil tangkapan nelayan berkurang karena lingkungan mencari ikan rusak dan perlu pemulihan ekosistem menyeluruh.
- Penutupan sementara berangkat dari kondisi lapangan dan pendataan hasil tangkapan gurita nelayan. Dengan begitu bisa melihat sejauh mana hasil tangkapan nelayan berpengaruh ke pendapatan ekonomi dan di mana lokasi tangkapnya.
- Nurain Lapolo, Direktur Japesda mengatakan, wilayah Desa Samajatem masuk dalam Key Biodiversity Area (KBA) Togean Banggai yang menyimpan keragaman hayati begitu tinggi. Penutupan sementara diyakini mampu menjalankan nilai-nilai konservasi dengan hasil bisa dirasakan masyarakat.
- Advertisement -
Mentari belum menampakkan sinar ketika Rahmat Bangkunis bergegas menyiapkan peralatan tangkapnya. Ada alat pancing, bensin, dan perahu. “Saya sudah siap turun melaut,” kata Ketua Kelompok Nelayan Si Karimanang di Desa Samajatem, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah ini.
Pagi 24 Agustus lalu, merupakan hari yang Rahmat dan nelayan lain nantikan. Hari itu, masa pembukaan tangkap gurita setelah tutup selama empat bulan.
“Nelayan pasti menunggu hari ini, mereka penasaran dengan hasilnya,” lelaki 42 tahun ini.
Hasil panen yang Rahmat maksud adalah dampak dari mereka menutup sementara tangkap gurita di perairan sekitar desa. Sebelumnya, nelayan Samajatem sepakat pada April lalu menutup sementara tiga lokasi tangkap gurita seluas 600 hektar dan mulai buka sesuai kesepakatan waktu antar mereka.
Rahmat bilang, penutupan ini sama dengan menabung. “Kita tidak menabung seperti biasa, kita menabung di laut. Gurita-gurita kita simpan dan tak ditangkap, lalu akan panen kalau sudah waktunya,” kata pria Bajo ini.
Buih atau tanda larangan digunakan sebagai komunikasi antar nelayan bahwa penutupan sementara lokasi tangkap gurita sedang berlangsung di wilayah perairan Desa Samajatem, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: /Zulkifli Mangkau/Mongabay Indonesia
Berangkat dari data
Riton Abaidata, pendamping masyarakat Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) untuk Desa Samajatem, mengatakan, selama ini model perikanan Samajatem belum terkelola dengan baik. Untuk itu, dengan cara penutupan ini jadi tawaran pengelolaan perikanan lebih berkelanjutan.
“Penutupan ini bukan untuk menutupi pekerjaan nelayan gurita di Samajatem, melainkan memberi pemahaman kepada mereka terkait pengelolaan perikanan berkelanjutan khususnya gurita,” katanya kepada Mongabay.
Praktik penangkapan ikan tak ramah lingkungan, katanya, sangat tinggi di Samajatem, seperti tangkap ikan pakai bom maupun racun. Kondisi ini, menyebabkan hasil tangkapan nelayan berkurang karena lingkungan mencari ikan rusak dan perlu pemulihan ekosistem menyeluruh.
“Salah satunya dengan enutupan sementara ini bisa menjadi pintu masuk untuk jadi pengelolaan perikanan berkelanjutan di Desa Samajatem.”
Penutupan sementara berangkat dari kondisi lapangan dan pendataan hasil tangkapan gurita nelayan. Dengan begitu bisa melihat sejauh mana hasil tangkapan nelayan berpengaruh ke pendapatan ekonomi dan di mana lokasi tangkapnya.
“Dari data yang dikumpulkan enumerator itulah yang kita pakai sebagai acuan penutupan sementara. Kita lihat di mana saja nelayan pergi memancing dengan bobot yang didapat.”
Dari pendataan itu, rata-rata tangkapan gurita di bawah satu kilogram dengan bobot kecil pasti akan memengaruhi harga jual gurita. Untuk itu, penting memberi jeda penangkapan guna memberi waktu supaya gurita bisa tumbuh lebih besar.
Penangkapan masif tanpa diatur, katanya, malah akan memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan gurita di laut. Apalagi dengan jangka hidup gurita yang hanya bisa bertahan 15-18 bulan lalu mati dengan sendirinya.
Merujuk data enumerator sejak Oktober 2023 -Februari 2024, data tangkapan gurita di Samajatem 2023 sebanyak 1.085 dengan berat 924,2 kilogram, dan 2024 berjumlah 1.174 seberat 896,8 kilogram.
“Melalui penutupan beberapa bulan ini yang akan kita lihat, apakah ada perubahan dari hasil tangkapan 1 kg pas ditutup dan dibuka kembali apakah mengalami peningkatan atau tidak,” katanya.
Ferlin Monggesang, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banggai mengatakan, kabupaten ini memiliki potensi cukup besar dengan garis pantai panjang. “Apalagi masuk dalam WPP 714 dan 715 sepanjang Teluk Tomini dan Teluk Tolo hingga potensi laut cukup besar dan harus dimaksimalkan,” katanya.
Dia bilang, penting memberikan pendampingan kepada masyarakat mengenai tata cara pengelolaan perikanan yang baik.
Nelayan gurita Samajatem memamerkan hasil tangkapannya setelah lokasi tangkap gurita dibuka kembali. Warga tampak antusias menangkap gurita setelah berpuasa panjang menahan keinginan untuk menangkap gurita. Bobot gurita yang didapatkan pun mengalami peningkatan, dari yang sebelumnya hanya 300 gram hingga 500 gram kini naik di antara 1.5 kg hingga 4 kilogram. Foto: Japesda
Perbaikan ekosistem
Rahmat baru saja kembali dari melaut. Setelah lokasi tangkap gurita buka dia langsung tancap gas. Belum beberapa jam dia sudah kembali dan membawa hasil tangkapan. Ruslan menunjukkan gurita dengan bobot 4 kilogram baru saja dia dapat.
“Biasanya tangkapan bobot besar seperti itu jarang, harus mengumpulkan beberapa ekor dulu,” kata Rahmat.
Dengan penutupan sementara ini, pengeboman ikan dan penggunaan potassium mulai berkurang. Kelompok yang dia pimpin sering patroli pengawasan secara aktif dan bergilir.
“Ada yang mendapatkan tugas patroli pagi hari dan ada juga malam hari,” katanya.
Nurain Lapolo, Direktur Japesda mengatakan, peran pengelolaan perikanan berkelanjutan itu terletak pada bagaimana masyarakat ikut merasakan manfaatnya. Model penutupan sementara ini sudah dilakukan di beberapa desa dan bisa memberikan dampak signifikan, secara ekonomi dan ekologi.
“Dengan penutupan sementara, diharapkan bisa memberikan kesempatan gurita berkembang biak hingga nelayan dapat memanen gurita dengan bobot lebih besar, juga memulihkan terumbu karang secara alami,” katanya.
Nurain bilang, penutupan penting dan sekaligus membantu pemerintah menjalankan perlindungan ekosistem di luar kawasan konservasi yang sudah ditetapkan pemerintah.
Apalagi wilayah Desa Samajatem masuk dalam Key Biodiversity Area (KBA) Togean Banggai yang menyimpan keragaman hayati begitu tinggi. Penutupan sementara diyakini mampu menjalankan nilai-nilai konservasi dengan hasil bisa dirasakan masyarakat.
Awalnya, pemerintah desa dan kecamatan ragu-ragu kini mulai paham dan melihat potensi perikanan kalau dikelola dengan baik memberikan hasil baik bagi masyarakat.
“Kalau semua pihak mendukung apalagi pemerintah desa mengambil peran lebih, kondisi lingkungan laut akan terus menjadi sumber penghidupan masyarakat desa.”
Desa Samajatem begitu indah. Di bagian daratnya masyarakat bisa menanam untuk kebutuhan dapurnya dan di laut mereka bisa mencari ikan untuk kebutuhan protein. Desa Samajatem adalah desa pemekaran dari Desa Jaya Bakti. Dulunya Samajatem hanyal sebuah dusun kecil, tapi karena semakin tahun jumlah penduduk semakin banyak mereka berinisiatif memisahkan diri dari desa induk yaitu Jaya Bakti. Hampir 90 persen warga Desa Samajatem adalah suku bajo dan sisanya dari suku Saluan, Banggai, Gorontalo, dan Jawa. Foto: /Zulkifli Mangkau/Mongabay Indonesia
********
Begini Tantangan Nelayan Kecil Demersal dan Gurita di Sulawesi
Sumber: Mongabay.co.id