- Komunitas Yano Akrua, bagian dari Masyarakat Adat Suku Namblong yang mendiami wilayah Grime, sudah mendapatkan . penetapan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2022. Meskipun begitu masyarakat adat masih was-was karena izin hak guna usaha (HGU) perusahaan sawit, PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masuk wilayah adat mereka.
- Hasil tumpang tindih peta hutan adat Yano Akrua dan hak guna usaha (HGU) PNM menunjukkan, seluruh hutan adat Yano Akrua di Kampung Yenggu lama ada di dalam HGU perusahaan sawit ini.
- Sejak 2020, Komunitas Tano Akrua, pemetaan wilayah adat, membuat pertemuan dengan komunitas adat berbatasan hingga mencapai kesepakatan tata batas. Mereka juga menyusun profil masyarakat adat termasuk menulis sejarah keberadaanya di wilayah itu.
- Bupati Jayapura menerbitkan Surat Keputusan (SK) Pengakuan Wilayah Adat Yano pada 2022. Kemudian tahun sama dapat penetapan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Masyarakat Yano Akrua berpegang pada SK hutan adat akan tetap mempertahankan hutan dan mengelola jadi ekowisata.
- Advertisement -
“Senang ini jadi hutan adat. Ini warisan dari orang tua. Kalau masuk perusahaan sawit, semua itu sudah bukan milik kami lagi,” kata Martha Waisimon, dari Komunitas Adat Yano Akrua di Kampung Yenggu Lama, Juli lalu.
Yano Akrua, adalah salah satu Komunitas Adat Suku Namblong yang mendiami wilayah Grime. Pada 18 Oktober 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan penetapan hutan adat kepada Yano Akrua dan lima komunitas adat lain di Papua. Surat keputusan penetapan hutan adat itu diserahkan dalam moment pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke enam (KAMAN VI) di Sentani, Jayapura. Kali pertama Pemerintah Indonesia menetapkan hutan adat di Papua.
Meskipun ada penetapan hutan adat dari pemerintah, masyarakat adat masih was-was karena izin hak guna usaha (HGU) perusahaan sawit, PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masuk wilayah adat mereka.
Bayang-bayang perusahaan sawit masih menguasai wilayah Yano Akrua. Hasil tumpang tindih peta hutan adat Yano Akrua dan hak guna usaha (HGU) PNM menunjukkan, seluruh hutan adat Yano Akrua di Kampung Yenggu lama ada di dalam HGU perusahaan ini.
“Dari perkebunan sawit ini dirintis, kami di sini hanya perumahan saja yang tertinggal, yang tersisa dari tanah adat. Untung dengan ada (penetapan) hutan adat, kita punya batas tanah terlindungi.” katanya.
PNM mengantongi HGU dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badang Pertanahan Nasional (ATR/BPN) seluas 10.370 hektar pada 2018. Wilayah Adat Yano Akrua masuk di dalamnya.
Masyarakat Yano Akrua mengira dengan terbit surat keputusan hutan adat dari KLHK, HGU perusahaan dari Kementerian ATR serta merta dicabut.
“Sepertinya tidak mungkin ada aturan di atas aturan. Sebelum Kementerian Kehutanan mengeluarkan SK hutan adat ini, sudah pasti pemerintah sudah mencabut izin sawit yang merencanakan bangun perkebunan di Yano Akrua,” kata Yusuf Waisimon, Kepala Kampung Yenggu Lama.
Sebagai kepala kampung, Yusuf terlibat aktif dalam seluruh proses pengakuan wilayah adat dan hutan adat Yano Akrua.
Namun, Roy Wayoi, Kakanwil ATR/BPN Papua, menyatakan HGU PNM masih aktif.
“HGU atas nama Permata Nusa Mandiri saat ini masih aktif sejak 2018.” Katanya dalam wawancara tertulis 19 Agustus lalu. Informasi ini, katanya, berdasarkan database HGU pada Kantor Pertanahan Kabupaten Jayapura.
Pernyataan Kakanwil ATR/BPN Papua mengkonfirmasi gencarnya PNM membuka lahan di Lembah Grime Nawa. Kini, jarak kurang lebih satu kilometer dari hutan adat Yano Akrua.
Tigor Hutapea, advokat masyarakat adat dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyatakan, selama HGU PMN aktif, pengakuan hutan adat kepada Yano Akrua tidak memberikan kepastian hukum.
“Karena perusahaan merasa punya hak untuk melakukan usaha di atas tanah negara. Tapi ada juga SK hutan adat yang mengakui itu adalah milik masyarakat.”
Tolak perusahaan sawit
Masyarakat Yano Akrua, sebagaimana Suku Namblong lain di wilayah Grime, tak banyak tahu tentang izin-izin yang pemerintah terbitkan untuk PNM.
Wilayah Adat Yano Meyu dan Yano Wai, yang juga mendapat penetapan dari KLHK tumpang tindih dengan izin PNM, meski pimpinan dua komunitas mengaku tak pernah mendapat informasi apapun terkait perusahaan ini.
PNM mendapat izin lokasi dari Pemerintah Kabupaten Jayapura seluas 32.000 hektar pada 2011. Izin lokasi diperbaharui sebanyak dua kali, pada 2014 dan 2017. Perusahaan ini lalu mendapat izin usaha perkebunan (IUP) pada Maret 2014.
Sebagian besar IUP perusahaan adalah dalam kawasan hutan, hingga PNM mengajukan permohonan izin pelepasan kawasan hutan ke KLHK. KLHK memberikan izin pelepasan kawasan hutan kepada PNM pada tahun sama, Agustus 2014.
Surat keputusan (SK) persetujuan pelepasan kawasan hutan Nomor: 680/Menhut-II/2014 tentang pelepasan kawasan hutan produksi dapat dikonversi keluar untuk perkebunan sawit atas nama PNM di Kabupaten Jayapura seluas 16.182,48 hektar.
Wilayah hutan adat Yano Akruwa termasuk dalam kawasan hutan yang dilepas KLHK ke PNM.
Dengan peralihan status jadi kawasan non hutan atau alokasi penggunaan lain (APL), PNM lalu mengajukan permohonan HGU kepada ATR/BPN. Dari luas HGU 10.370 hektar, hanya 944 hektar dari APL murni. Sisanya, dari kawasan hutan yang dilepas KLHK.
Roy mengatakan, selain harus berstatus APL, ATR/BPN baru memproses permohonan hak kalau telah dilepaskan masyarakat adat terkait kepemilikan tanah adat.
“Itu dibuktikan dengan akta dan atau surat pelepasan hak atas tanah adat di antara masyarakat adat dengan pihak pemohon HGU.”
Namun Masyarakat Yano Akrua menyatakan tidak melepas tanah ke perusahaan untuk jadi HGU. Yusuf Hembring, Ketua Dewan Adat Suku Demutru Namblong–lembaga adat yang membawahi wilayah adat Namblong–mengatakan, wilayah adat Yano Akrua di Kampung Yenggu Lama diserahkan oleh orang-orang dari kelompok masyarakat adat lain. Padahal, katanya, pada masa lalu, moyang mereka sudah menyerahkan wilayah itu kepada nene moyang Yano Akrua.
“Jadi, hak tetap di Yano Akrua karena dari moyang sudah serahkan.”
Menurut Yusuf, pengakuan antar masyarakat adat bahwa wilayah itu berasal dari kelompok tertentu di masa lalu itu penting, tetapi mereka tidak bisa mengambil kembali apalagi menyerahkan sepihak ke perusahaan.
Doni Hiwa dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), satu organisasi yang tergabung dalam GTMA Kabupaten Jayapura menyatakan, saat pengusulan HGU PNM, belum ada kepastian hak di wilayah itu. Belum ada pemetaan parsitipatif masyarakat yang disahkan melalui berita acara kesepakatan tata batas, lalu diakui pemerintah melalui SK Bupati.
“Waktu itu belum ada kepastian hak, waktu HGU. Ketika punya nilai ekonomis, semua orang mengklaim wilayah itu sebagai haknya.”
Saat proses pemetaan partisipatif dan pertemuan untuk mencapai kesepakatan atas batas, pihak-pihak yang sebelumnya mengklaim sebagai pemilik wilayah Yano Akrua dan menyerahkan ke perusahaan tidak bisa berargumentasi dalam menjelaskan sejarah kepemilikan.
“Ketika sudah ada kepastian hak, akhirnya legowo juga yang tadinya menyerahkan wilayah itu.”
PNM sempat menggunduli hutan pada 2019 namun terhenti. Perusahaan gencar membuka lahan lagi awal Januari 2022, selang berapa minggu dari waktu KLHK mencabut izin pelepasan kawasan hutan.
“Itu APL. Dulunya itu kan HPK. Kemudian dimohon oleh PNM. Setelah PNM dicabut pada 2022. Di SK sendiri kita belum mendapat arahan apakah itu kembali menjadi HPK atau seperti apa” kata Estiko Tri Wiradyo, Kepala Bidang Perencanaan Kehutanan Dinas KLH Provinsi Papua.
Dia menolak berkomentar tentang tumpah tindih SK hutan adat dan HGU ini. Menurut dia, hal ini merupakan kewenangan KLHK. Dia tidak terlibat bersama KLHK saat verifikasi atas Hutan Adat Yano Akrua.
Nelson Kaimana, Kepala Seksi Wilayah Papua, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Maluku Papua juga belum bisa berkomentar tentang tumpang tindih ini.
“Kebetulan kami di seksi wilayah tiga Jayapura baru dibentuk tahun 2022 akhir. Kami berkantor tahun 2023. Ini proses yang sudah terjadi sebelum kami ada di Jayapura. Tapi dalam mekanisme kami, ketika terjadi seperti itu akan dilakukan evaluasi.” katanya.
Mongabay berupaya menghubungi humas perusahaan tetapi sampai berita ini rilis tak mendapat jawaban.
Hutan adat untuk ekowisata
Aktivitas pembukaan lahan PNM yang sangat dekat dengan kampung, mendorong Masyarakat Yano Akrua mengamankan wilayah adat mereka. Saat Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) Kabupaten Jayapura sosialisasi pemetaan partisipatif, mereka menyambutnya.
“Proses itu kami lakukan 2020,” kata Yosep Waisimon, Kepala Kampung Yenggu Lama, saat di Kampung Yenggu Lama Juli lalu.
Didampingi GTMA, mereka pemetaan wilayah adat, membuat pertemuan dengan komunitas adat berbatasan hingga mencapai kesepakatan tata batas. Mereka juga menyusun profil masyarakat adat termasuk menulis sejarah keberadaanya di wilayah itu.
Bupati Jayapura lalu menerbitkan Surat Keputusan (SK) Pengakuan Wilayah Adat Yano bernomor 188.4/437 tahun 2022. SK ini melengkapi Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Jayapura.
Dengan lengkapnya persyaratan ini, Masyarakat Yano Akrua didampingi GTMA lalu pengusulan hutan adat ke KLHK. Tim KLHK lalu berkunjung ke Yano Akruwa untuk verifikasi dan identifikasi. Hasilnya, KLHK menerbitkan SK hutan adat.
Zoel Hasbullah, dari BRWA menyatakan, penerbitan SK hutan adat tidak mengubah fungsi kawasan. Masyarakat Yano Akrua berpegang pada SK hutan adat akan tetap mempertahankan hutan dan mengelola jadi ekowisata.
Mereka menerapkan larangan-larangan di kawasan hutan adat ini. Kegiatan berburu, misal, hanya bisa di luar lokasi hutan.
Selain memiliki beragam jenis pohon, hutan adat Yano Akrua adalah ekosistem mamalia juga burung-burung seperti cenderawasih, kasuari, dan mambruk.
“Kalau kita biarkan hutan adat, flora dan fauna tetap terjaga macam cendrawasih, kasuari yang endemik ini bisa tetap ada, tidak pergi jauh,” kata Yusuf.
Kelompok kerja dalam kampung sudah terbentuk untuk membuat titik-titik pemantauan satwa dalam hutan dan memandu wisatawan yang berkunjung.
“Mereka bisa jadi tour guide dan tetap bertani. Saat ada tamu mereka antar.”
Untuk mendukung rencana ini, pengelola Isyo Hill’s Bird Watching akan mendampingi Masyarakat Yano Akrua.
Isyo Hill’s Bird Watching, satu area ekowisata yang sudah ada di Lembah Grime sejak 2014. Isyo Hill’s menawarkan banyak paket wisata seperti kamping, trekking sampai bird watching. Tiap tahun pencinta burung dunia berkunjung ke sini.
Alex Waisimon, pendiri Isyo Hill’s Bird Watching sejak lama mengajak masyarakat di Lembah Grime tidak melepaskan wilayah adat ke pihak lain. Dia mengajak masyarakat menjaganya dan mengelola mandiri. Saat ini, Isio memayungi ekowisata di Lembah Grime seperti Yani Akrua, Klaisu, Bonggrang, dan Muara Muaif, Berap.
“Kita memayungi sampai semua bisa berjalan sendiri-sendiri. Sekarang Isio juga mempromosikan produk mereka sampai benar-benar mengerti, paham, dan bisa kelola sendiri.”
Gencarnya kampanye dalam komunitas untuk mengamankan hutan pelan-pelan memunculkan kesadaran di internal Masyarakat Yano Akrua.
Kasus tumpang tindih antara tanah masyarakat dengan perusahaan banyak terjadi di Indonesia. Eko Cahyono, sosiolog dari IPB University mengatakan, kondisi ini berakar pada rumitnya politik agraria di Indonesia.
“Karena ada dua rezim hukum pertanahan, luar kawasan hutan ada di ATR/BPN, lalu kawasan hutan di KLHK,” katanya juga peneliti di Sajogyo Institute ini.
Tumpang tindih seringkali menyebabkan konflik berkepanjangan karena masing-masing pihak mengklaim yang paling pertama mendapat hak atau pengakuan dari negara.
Pemerintah, katanya, harus segera mengambil langkah mengintegrasikan rezim hukum pertanahan.
“Perlu terobosan kelembagaan yang mengintegrasikan seluruh pengelolaan negara atas sumber-sumber agraria.”
Kelembagaan ini, katanya, akan memastikan kesesuaian seluruh izin dan mencegah tumpang tindih. Khusus untuk kasus tumpang tindih HGU PNM dan hutan adat Yano Akruwa ini, Eko menegaskan, harus segera pencabutan HGU.
“Secara politik hukum, HGU tidak boleh yang belum clear and clear.”
Cabut HGU
Bupati Jayapura pernah menyurati ATR/BPN pada September 2022 meminta pencabutan HGU PNM dengan alasan perolehan tanah tanpa persetujuan utuh masyarakat adat pemilik ulayat, jangka waktu izin lokasi habis, dan pembukaan hutan secara tidak sah.
Namun Roy Wayoi, tidak memberi penjelasan soal pencabutan HGU. Menurut dia, syarat pencabutan HGU antara lain berakhirnya jangka waktu, batal hak oleh menteri, pengubahan hak jadi hak atas tanah lain.
Pada 2022, Koalisi Selamatkan Grime Nawa menyatakan ada indikasi ATR/BPN tidak mengevaluasi atau pemantauan terhadap PNM yang melakukan penelantaran tanah.
“Ini tindakan maladministrasi yang dilakukan Badan Pertanahan.”
Dalam analisis mereka, PNM memperoleh beberapa persil HGU dalam bentuk sertifikat sejak 15 November 2018 dan 5 Desember 2018. Sejak 2018–2021, perusahaan tidak mengusahakan HGU dalam jangka waktu yang diatur peraturan. Dengan demikian PNM melakukan penelantaran tanah sesuai PP 20/2021.
“Kepala Badan Pertanahan Nasional Jayapura wajib menetapkan sebagai tanah terlantar, mencabut HGU PT PNM dan mengembalikan kepada masyarakat adat.”
Zoel Hasbullah, dari BRWA menyatakan, tumpang tindih hak ini bisa menimbulkan konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan. Apalagi, masyarakat sudah dapat rekognisi pemerintah daerah, kedua penetapan hutan adat dari KLHK.
“Perlu mendudukkan pemerintah daerah, Dinas Penanaman Modal, ATR/BPN, KLHK, dan masyarakat adat untuk rumuskan jalan keluar.”
Meski kini HGU PNM masih aktif dan perusahaan terus membongkar hutan, Masyarakat Yano Akrua tetap meyakini perusahaan tidak akan masuk ke hutan adat mereka.
“Itu hutan nenek moyang, tidak diberikan kepada siapapun. Apapun kondisi perusahaan silakan, siapa yang memberikan hak kepada anda, ya anda berurusan dengan dia. Kalau kami dari Yano Akrua, hutan itu adalah masa depan untuk kami, buat anak cucu kami, tidak diberikan kepada siapapun. Itu menjadi komitmen,” kata Alex Waisimon.
Pernyataan sama disampaikan Yosep Waisimon. “Harapan kami hutan adat tetap aman dan perusahaan itu tetap gerak di tempat yang dia sudah kerja. Jangan menyeberang ke hutan adat kami.”
********
*Liputan ini, bagian dari program Data Journalism Forest Bootcamp 2024 yang didukung Indonesia Data Journalism Network (IDJN).
Ramai-ramai Desak Pemerintah Cabut Izin PT Permata Nusa Mandiri di Lembah Grime Nawa
Sumber: Mongabay.co.id