- Konflik antara masyarakat adat dan pihak kehutanan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan kerap terjadi, sebagai bagian dari dinamika yang kompleks dalam pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan.
- Masyarakat adat di Kabupaten Sinjai melakukan aksi menuntut sejumlah hal, mulai dari penolakan atas penetapan tata batas kawasan hutan negara ke dalam wilayah adat oleh KLHK hingga menagih Presiden Jokowi untuk mengesahkan RUU masyarakat adat.
- Penetapan tata batas yang dilakukan secara sepihak oleh BPKH Wilayah VII Makassar akan berimplikasi terhadap perampasan ruang hidup masyarakat adat.
- Kebijakan pemerintah yang abai pada masyarakat adat sebagai bom waktu jika tidak ada upaya serius yang melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat dalam penyelesaiannya.
Sekitar seratusan warga dari sejumlah komunitas adat di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi, beberapa waktu lalu. Demonstran berjalan dari Lapangan Nasional Sinjai Utara melintas sepanjang jalan Persatuan Raya hingga sampai ke kantor DPRD Sinjai, sambil berorasi sepanjang jalan.
Aksi itu bertujuan untuk menolak penetapan tata batas kawasan hutan negara ke dalam wilayah adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar.
Awaluddin Syam, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sinjai, menyatakan bahwa penetapan tata batas yang dilakukan secara sepihak oleh BPKH Wilayah VII Makassar akan berimplikasi terhadap perampasan ruang hidup masyarakat adat.
“Lagi-lagi tanah adat diklaim secara sepihak oleh negara meski telah ada putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyatakan sebaliknya,” katanya.
Mereka juga menuntut Pemkab Sinjai untuk segera menjalankan mandat Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai No.1/2019 tentang Pedoman Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat, serta meminta DPRD Sinjai untuk segera melakukan evaluasi kepada Pemkab Sinjai terkait lambannya pelaksanaan penerapaban perda tersebut.
Baca : Berharap Pengakuan Hutan Adat Barambang
- Advertisement -
Aksi demonstrasi seratusan warga dari sejumlah komunitas adat di Kabupaten Sinjai, pertengahan Agustus lalu. Mereka memiliki sejumlah tuntutan, mulai dari menolak tata batas kawasan hingga tagih janji Jokowi terkait masyarakat adat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.
Tuntutan yang lain adalah meminta Presiden Joko Widodo untuk menjalankan amanah Putusan MK No.35 tentang Hutan Adat yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, dengan segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Mereka juga menolak tanah objek reforma agraria (TORA) karena dalam pelaksanaannya tidak melibatkan kelembagaan adat dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip masyarakat adat.
Mereka juga menolak izin usaha yang tidak partisipatif dalam wilayah adat dan menolak kebijakan atau undang-undang yang meminggirkan masyarakat adat, seperti UU Omnibus Law, KUHP, UU Minerba dan UU KSDAE.
Solihin, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sinjai menilai kebijakan pemerintah yang abai pada masyarakat adat sebagai bom waktu jika tidak ada upaya serius yang melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat dalam penyelesaiannya. Menurutnya, telah banyak upaya yang dilakukan oleh AMAN Sinjai dalam 10 tahun terakhir untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tetapi ada kecenderungan Pemkab Sinjai tidak merespons baik upaya ini.
“Telah berulangkali saya juga sampaikan agar wilayah-wilayah adat ini segera diakui. Seharusnya Pemkab Sinjai mengimplementasikan Perda No.1 Tahun 2019 ini yang menguatkan posisi masyarakat adat,” katanya.
Pada diskusi sebelumnya bersama AMAN Sinjai, Sekretaris Daerah (Sekda) Sinjai Andi Jefrianto Asapa seperti dikutip dari Antaranews, menyampaikan berkaitan percepatan identifikasi, verifikasi, dan validasi masyarakat adat Sinjai telah dijabarkan dalam UUD 1945, Pasal 18B Ayat 2 yang mengatur soal hak adat.
Disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI yang telah diatur dalam Undang-Undang.
Baca juga : Berkonflik Lahan dengan Dinas Kehutanan, Warga Sinjai Ditangkap
Masyarakat adat di Sinjai menolak tanah objek reforma agraria (TORA) karena dianggap hanya tipu-tipu yang dalam implementasinya tidak melibatkan kelembagaan adat dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip masyarakat adat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.
Sejarah konflik yang Panjang
Menurut Ketua AMAN Sinjai Solihin, relasi antara masyarakat adat dan pemerintah daerah Kabupaten Sinjai memiliki sejarah yang panjang dan penuh dinamika. Konflik antara masyarakat adat dan pihak kehutanan di Kabupaten Sinjai kerap terjadi, sebagai bagian dari dinamika yang kompleks dalam pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan.
“Ini melibatkan pertentangan antara kepentingan ekonomi, konservasi lingkungan, dan hak-hak masyarakat adat dalam menggunakan sumber daya alam tradisional mereka,” katanya.
Salah satu konflik yang sempat mengemuka adalah konflik di kawasan hutan Barambang Katute, yang disebabkan oleh adanya penetapan wilayah kawasan hutan lindung Apparang pada tahun 1982, yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah daerah ketika itu.
Penetapan ini kemudian menjadi dasar dilaksanakannya pengukuran pada tahun 1994 untuk memisahkan wilayah kelola masyarakat dengan wilayah kawasan hutan lindung.
“Hal ini menimbulkan konflik antara masyarakat setempat dengan pemerintah, di mana masyarakat menganggap bahwa lahan mereka yang ditetapkan sebagai kawasan hutan telah diperoleh secara turun temurun dan juga terdapat hutan larangan atau hutan adat di dalamnya, yang telah dijaga secara turun temurun sebagai warisan dari leluhur,” jelas Solihin.
Hubungan Masyarakat adat dan pemerintah di Barambang Katute, semakin memanas sejak dilakukannya pengukuran pada tahun 1994 untuk menentukan batas wilayah kelola masyarakat dengan wilayah kawasan hutan lindung. Pengukuran tersebut menuai aksi protes dari masyarakat karena dinilai tidak ada sosialisasi sebelumnya.
Pada tahun 1995 terdapat dua orang warga yang ditahan selama dua bulan dengan tuduhan menghasut, dan memfitnah kekuasaan umum serta penipuan. Selanjutnya pada tahun 2005 dinas perkebunan dan kehutanan (Disbunhut) menerapkan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) di kawasan hutan lindung di Bonto Katute.
Pada tahun 2006-2007 dilakukan kegiatan pembibitan dan penanaman. Namun pada awal tahun 2008, sebanyak 11 orang Bolalangiri Desa Bonto Katute kemudian dilaporkan oleh Disbunhut dengan tuduhan merambah dan merusak kawasan hutan lindung Apparang.
Warga menolak tuduhan tersebut dengan alasan lahan tersebut telah dikelola secara turun temurun. Sengketa lahan ini berakhir di meja hijau.
Baca juga : Konflik Lahan, Ramai-ramai Minta Polisi Bebaskan Petani Sinjai
Ismail, dewan adat (tomatoa) Barambang Katute, menunjukkan kawasan hutan adat yang berada di wilayah pegunungan Kabupaten Sinjai, Sulsel. Selain hutan kelola, mereka juga memiliki kawasan hutan yang dikeramatkan, yang tak boleh ada aktivitas penebangan di dalamnya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.
Selanjutnya pada tahun 2010 dikeluarkan izin perpanjangan eksplorasi tambang kepada PT. Galena Sumber Energi di Desa Bonto Katute. Masyarakat kembali melakukan aksi perlawanan dengan dibantu oleh beberapa organisasi masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa.
“Aksi tersebut merupakan puncak dari perlawanan masyarakat terhadap pemerintah daerah terkait masalah sengketa lahan yang terjadi di wilayah mereka. Alhasil diperoleh kesepakatan dengan DPRD Kabupaten Sinjai bahwa masyarakat tetap menolak eksplorasi tambang.”
Tidak hanya di Sinjai Borong, hal yang sama juga terjadi di Desa Turunan Baji, Kecamatan Sinjai Barat. Seorang warga bernama Bahtiar, yang saat itu berumur 44 tahun, ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri Sinjai karena dituduh melakukan penebangan pohon dalam hutan tanpa izin.
Bahtiar menebang pohon di lahan yang dikelola keluarganya secara turun temurun pada 9 Oktober 2013. Ia juga memiliki Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) atas tanah tersebut yang dibayarnya sejak tahun 1994 sampai 2004.
Namun, berdasarkan penunjukan menteri kehutanan, lokasi tersebut masuk ke kawasan hutan. Bahtiar merasa masih punya hak terhadap lahan itu, apalagi pepohonan di dalamnya ia yang tanam. Bahtiar dijerat UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp500 juta, jika denda tersebut tak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan.
“Dua kasus di atas hanya sedikit dari banyaknya kasus serupa yang terjadi di akibat klaim sepihak, baik yang terjadi di wilayah adat maupun di luar wilayah adat,” ujar Solihin. (***)
Masyarakat Adat Masih Terpinggirkan: Negara Gagal Lindungi?
Sumber: Mongabay.co.id