- Sungsang merupakan wilayah ekosistem mangrove di pesisir timur Sumatera Selatan. Masyarakat di Sungsang saat ini terlibat dalam restorasi mangrove guna menghijaukan kembali mangrove di wilayah mereka yang rusak akibat dibuka untuk kebun dan tambak.
- Di Desa Sungsang IV terdapat Taman Nasional Sembilang seluas 205.100 hektar, yang ditetapkan UNESCO pada 2018 sebagai Cagar Biosfer Dunia bersama Taman Nasional Berbak [Jambi].
- Keberadaan Taman Nasional Sembilang yang juga wilayah persinggahan burung migran dari Asia Timur menuju Australia, menjadikan Sungsang IV sebagai satu dari 75 Desa Wisata di Indonesia.
- Ada empat wilayah restorasi mangrove dan satu lokasi perlindungan yang menjadi sasaran kegiatan di Sungsang.
Sungsang merupakan wilayah ekosistem mangrove di pesisir timur Sumatera Selatan. Sejak ratusan tahun lalu, Sungsang sudah didiami kelompok masyarakat yang hidup sebagai nelayan. Namun dalam belasan tahun terakhir, populasi ikan di kawasan ini menurun akibat rusaknya mangrove.
Mengapa bisa terjadi?
“Mangrove yang dibuka untuk perkebunan dan tambak, merupakan salah satu penyebab menurunnya hasil tangkapan ikan warga desa kami, yang sebagian besar nelayan. Mangrove itu rumah berbagai jenis ikan sehingga harus diperbaiki,” terang Romi Adi Candra, Kepala Desa Sungsang IV, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Kamis [29/8/2024].
Ketika program SMART [Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism] pada 2021 dijalankan, kami berharap mangrove kembali pulih.
“Sekaligus menjadikan wilayah kami sebagai desa wisata,” ujarnya.
- Advertisement -
Baca: Kebun Raya Mangrove Surabaya ini Satu-satunya di Indonesia
Restorasi mangrove di greenbelt atau garis pantai Desa Sungsang IV ini seluas 1,7 hektar. Foto: CIFOR/Fajrin Hanafi
Desa Sungsang IV yang luasnya sekitar 176.907 hektar, terdiri lima dusun. Ada Dusun I Ulu, Dusun II Tengah, Dusun III Ilir, Dusun IV Sei Sembilang, dan Dusun V Sei Sembilang Ulu. Sebagian besar wilayah Sungsang IV berupa hutan mangrove.
Di desa ini juga terdapat Taman Nasional Sembilang seluas 205.100 hektar, yang ditetapkan UNESCO pada 2018 sebagai Cagar Biosfer Dunia bersama Taman Nasional Berbak [Jambi].
Keberadaan Taman Nasional Sembilang yang juga wilayah persinggahan burung migran dari Asia Timur menuju Australia, menjadikan Sungsang IV sebagai satu dari 75 Desa Wisata di Indonesia.
“Mangrove begitu penting bagi kami. Banyak wisatawan datang, baik lokal maupun mancanegara,” kata Mulyadi [18], pemuda Desa Sungsang IV, yang terlibat dalam restorasi dan pembibitan mangrove.
Sebulan lalu, ketika wisatawan berkunjung untuk melihat burung migran di Taman Nasional Sembilang, “Masyarakat kami mendapatkan pemasukan sekitar Rp100 juta. Ini hasil penjualan kerajinan penganan, seperti kerupuk dan pempek udang, serta lainnya,” lanjut Romi.
Baca: Mangrove, Bahan Obat Tradisional, dan Masyarakat Adat Bajo
Hamparan mangrove yang kuat berfungsi seperti benteng, melindungi masyarakat dari badai ekstrem. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Mangrove dan manusia
Ada empat wilayah restorasi mangrove dan satu lokasi perlindungan yang menjadi sasaran kegiatan.
Pertama, di greenbelt atau garis pantai Desa Sungsang IV seluas 1,7 hektar. Kedua, di Pasir Timbul seluas 0,08 hektar yang merupakan lokasi wisata. Ketiga, restorasi dan pembibitan di lokasi eks perkebunan kelapa seluas 7,7 hektar. Keempat, restorasi dan budidaya kepiting seluas 5,8 hektar. Total, 15 hektar.
Sementara, kegiatan untuk melindungi Hutan Desa [Mangrove] Sungsang IV seluas 524 hektar.
“Metodenya partisipatif. Masyarakat dilibatkan dari perencanaan hingga pelaksanaan,” kata Herry Purnomo, Direktur CIFOR [Center for International Forestry Research] Indonesia, Kamis [29/8/2024].
Restorasi mangrove bukan sebatas menanam, tetapi juga merawat. Selain itu, masyarakat juga mendapatkan dampak ekonomi secara langsung maupun tidak.
“semua pihak yang terlibat harus kerja keras dan sabar.”
Ada berbagai jenis pohon yang ditanam. Yakni, api-api hitam [Avicennia alba], api-api putih [Avicennia marina], putut [Bruguiera gymnorrhiza], kandelia candel [Kandelia candel], bakau minyak [Rhizopora apiculata], bakau kurap [Rhizophora mucronata], bakau kecil [Rhizophora stylosa], perepat [Sonneratia alba], dan pidada merah [Sonneratia caseolaris].
M. Ridwan, Camat Banyuasin II, berharap restorasi memberi dampak baik bagi ekosistem keseluruhan dan lingkungan Desa Sungsang IV.
“Hutan mangrove ini merupakan daya tarik wisatawan untuk datang ke Sungsang. Melestarikan hutan mangrove adalah hal penting yang harus dilakukan,” ujarnya.
Romi menambahkan, ekonomi kreatif yang dijalankan masyarakat terus tumbuh dan berkembang. Misalnya, sabun dari buah pidada.
“Potensi ini harus dimaksimalkan,” ujarnya.
Baca juga: Ketangguhan Mangrove Menjaga Pesisir Bumi
Kandelia kandel, jenis ini tumbuh baik di lokasi restorasi mangrove di Sungsang, Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Sarno/Mongabay Indonesia
Tanaman mangrove langka
Satu jenis mangrove yang dicoba dalam restorasi ini adalah kandelia candel [Kandelia candel].
“Alhamdulillah, tumbuh baik di lokasi restorasi,” kata Dr. Sarno, pakar mangrove dari Universitas Sriwijaya, Kamis [29/8/2024].
Dijelaskan Sarno, menurut Duke et al. [2010], Kandelia candel memiliki sebaran luas namun keberadaannya terancam. Populasinya terus berkurang.
Kelimpahannya secara global, nasional, regional atau pun lokal sudah sangat terbatas dan jarang. Jenis ini, secara alamiahnya dapat dijumpai pada beberapa lokasi atau kawasan di pantai timur Sumatera. Terutama, di Sungai Bungin [Taman Nasional Sembilang].
“Berdasarkan penelitian saya dan teman-teman, Kandelia candel dijumpai di Taman Nasional Sembilang bersama 36 jenis lain. Ini mencakup 23 jenis mangrove sejati dan 13 jenis mangrove ikutan,” paparnya.
Ketangguhan Mangrove Menjaga Pesisir Bumi
Sumber: Mongabay.co.id