- Komunitas Indonesia Hijau (KIH) regional Malang, Jatim, mengenalkan konservasi lingkungan kepada generasi muda sejak dini melalui berbagai kegiatan.
- Salah satunya kegiatan rutin berkemah berjudul Bermain di Alam Bebas (BAB) untuk anak-anak dengan berbagai kegiatan seperti mengenal aneka tanaman dan manfaatnya di sekitar rumahnya.
- Peserta juga dikenalkan pada sejumlah satwa liar berstatus terancam punah di sekitar lingkungannya yang sebelumnya hanya bisa melihat foto satwa dari internet.
- Berbagai program KIH regional Malang untuk mengenalkan konservasi lingkungan seperti Bermain di Alam Bebas (BAB), Keterampilan Alam Bebas (Trabas) dan Peka Alam (Pendidikan Konservasi Alam).
Sebanyak 15 anak-anak duduk meriung. Tekun, mereka menggambar di atas kertas. Selanjutnya, mereka menempelkan dedaunan kering di sekitar kawasan dermaga sungai Bajulmati, Desa Sidodadi, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Mereka membuat beragam pola yang unik dan diperindah dengan beragam dedaunan kering.
“Kami mengajarkan kreativitas dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati di lingkungannya,” kata anggota Komunitas Indonesia Hijau (KIH) Regional Malang, Qatrunada Melati (24 tahun), beberapa waktu lalu. Ia bersama empat anggota KIH lainnya melatih anak-anak mengenal lingkungan sejak dini. Beragam kegiatan dalam program Bermain di Alam Bebas (BAB) dilangsungkan selama tiga hari yang dikemas menarik dan mengajaknya bergembira.
Peserta merupakan anak-anak desa setempat yang berusia tiga tahun sampai 15 tahun. Mereka menginap di dalam tenda dan memasak bersama-sama, untuk dilatih kemandirian dan belajar konservasi lingkungan sejak dini. Dikemas dalam program Pendidikan Konservasi Alam (Peka Alam), sebuah program reguler yang dikerjakan KIH setahun sekali.
Nada –sapaan akrab Qatrunada Melati– menjelaskan jika anak-anak juga dikenalkan dengan aneka tanaman di sekitar rumahnya. Dalam kegiatan bertema mencari harta karun, peserta diminta mencari “harta karun” berupa sejumlah tanaman dengan petunjuk peta. “Mereka belajar membaca peta dan mengenal aneka jenis tanaman dan manfaaatnya,” kata Nada.
Ternyata, sejumlah peserta tidak mengenal beragam jenis tanaman di sekitar rumah. Seperti daun mangkokan (Polyscias scutellaria) yang bermanfaat untuk shampo rambut. Mereka juga dikenalkan dengan daun beluntas (Pluchea indica L.) yang bermanfaat untuk menghilangkan bau badan yang dikonsumsi dengan dimasak menjadi aneka jenis masakan.
Baca : Cara Asik Ajak Generasi Muda Peduli Lingkungan, Seperti Apa?
- Advertisement -
anak-anak Desa Sidodadi, Pagedangan, Malang, Jatim, mengikuti Bermain di Alam Bersama (BAB) yang diselenggarakan Komunitas Indonesia Hijau (KIH). Foto : KIH
Peserta juga tidak mengetahui jika pepaya jepang (Cnidoscolus chayamansa) yang tumbuh di pekarangan rumah juga bisa diolah dan dikonsumsi.
“Mereka kaget daun pepaya jepang aman dikonsumsi,” ujarnya. Lantaran, berkembang kabar daun pepaya jepang mengandung sianida sehingga warga tak berani mengolah dan mengonsumsinya. Padahal jika diolah dengan benar, daun pepaya jepang aman dan enak dikonsumsi. Memanfaatkan sayuran dan tanaman di pekarangan rumah dengan prinsip ketahanan pangan.
Mereka juga dikenalkan metode mewarna kain dengan ecoprint. Setiap kelompok diberi tote bag putih. Lantas, mereka membuat pola dan mewarnai dengan dedaunan di sekitar tempat berkemah. Kreatifitas ini, katanya, bisa dikembangkan untuk mewarnai pakaian yang warnanya sudah memudar.
Mengenalkan Satwa dan Habitatnya
Nada juga menunjukkan sejumlah satwa yang berada di lingkungan mereka seperti penyu hijau (Chelonia mydas), elang Jawa (Nisaetus bartelsi), lutung Jawa (Trachypithecus auratus) dan macan tutul (Panthera pardus melas). Aneka satwa tersebut kini terancam punah. Habitatnya berada di hutan lindung tersisa di Malang Selatan, lokasinya tak jauh dari permukiman warga.
“Mereka tak pernah melihat satwa itu di alam, mereka mengenal dari foto dan video di intenet,” ujarnya. Mengapa terancam punah? Mereka menjawab kompak satwa langka karena hutan dibabat dan perburuan di alam. Kini, hutan lindung berubah menjadi perkebunan tebu, ladang jagung dan pisang.
Mereka juga diajak mengenal sungai dan biotanya dengan menyusuri sungai menggunakan perahu karet. Malam menjelang, anak-anak duduk meriung mendengarkan dongeng si Timun Mas dan Raksasa. Timun Mas, saban hari melemparkan biji-bijian di tepi sungai. Aneka tanaman tumbuh untuk menahan longsoran di tepian sungai.
Namun, sang raksasa menganggap aktivitas si Timun Mas mengganggu kerajaannya sehingga sang Raksasa menebangi tanaman si Timun Mas. “Seru, bahkan sampai ada yang ketakutan saat Buto (raksasa) keluar, seperti diperagakan dalam dongeng tersebut,” ujarnya.
Dongeng tersebut, kata Nada, didedikasikan kepada orang tua peserta yang rutin setiap tanggal 1 dan 15 menanam di bantaran sungai. Tujuannya, mengenalkan aksi orang tuanya yang menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah abrasi, banjir dan longsor. Dongeng ini diharapkan mendorong anak-anak turut mendukung dan melanjutkan usaha orang tuanya.
“Pohon dulu banyak tumbuh di tepi sungai Bajumati, sekarang hilang. Ditebang,” ujarnya. Dampaknya, banjir melanda permukiman warga rutin setiap musim penghujan. Kegiatan KIH, katanya, juga mengurangi kebiasaan anak-anak yang bermain gawai. Sedangkan mereka jarang bermain di alam dan mengenal lingkungannya sendiri.
Vinno Naufal Abqori (10 tahun), mengaku menikmati kegiatan yang diikutinya selama tiga hari. Bersama teman-temanya, ia mengaku banyak mendapat pengetahuan yang tak diperoleh di sekolah dan keluarganya. Bahkan ia mulai tertarik mengenal aneka ragam tanaman di sekitar lingkungannya. “Senang dan menikmati setiap kegiatannya. Suka melukis dengan daun kering,” ujarnya.
Baca juga : Nugie, Tasya sampai Hamish Daud Ajak Generasi Muda Peduli Lingkungan Hidup
anak-anak Desa Sidodadi, Pagedangan, Malang, Jatim, mengikuti Bermain di Alam Bersama (BAB) yang diselenggarakan Komunitas Indonesia Hijau (KIH). Foto : KIH
Pendidikan Lingkungan Usia Dini
Ketua Komunitas Indoesia Hijau (KIH) Regional Malang, Purnawan Dwikora Negara menjelaskan bergerak di pendidikan lingkungan usia dini. Mendidik anak mulai dari anak TK sampai mahasiswa. “Kami relawan pendukung Yayasan Indonesia Hijau yang berdiri sejak 1978. Pendiri WALHI (Wahana Lingkungan Hidup),” ujar Purnawan yang akrab disapa Pupung.
KIH menyasar generasi muda untuk memupuk kesadaran lingkungan. Programnya berupa Bermain di Alam Bebas (BAB), kegiatannya berupa mendirikan tenda, memasak bersama, dan mengajarkan anak-anak bertanggungjawab. Selain itu, turut membentuk karakter anak yang beririsan dengan kepedulian terhadap lingkugan. Program Keterampilan Alam Bebas (Trabas) khusus yang memiliki minat kegiatan di alam bebas, mulai belajar membaca peta kompas, survival, arung jeram, dan panjat tebing. Dan program Peka ALAM (Pendidikan Konservasi Alam).
Kegiatan BAB di Sidodadi merupakan kegiatan advokasi kepada Komunitas Tegalsari Maritim yang rutin menanam pohon untuk mencegah banjir. Aktivitas menanam dilangsungkan selama empat tahun terakhir akibat banjir bandang di desanya. “Dulu banjir bandang terjadi 25 tahun sekali. Sekarang tidak terprediksi, bisa dua tahun sekali,” ujar Pupung.
Mereka menggunakan kearifan lokal dengan menanaman yang direkomendasikan sesepuh desa setempat. Menanam akibat pemanasan global, cuaca berubah, dan kerusakan hulu mengakibatkan Sungai Penguluran dan Sungai Bajulmati banjir. Banjir bertubi-tubi, turut mengubah bentang alam. Aliran sungai berubah hingga menerabas tanah ladang warga. Aliran sungai berubah, melebar hingga 20 meter. Sehingga kerap menimbulkan konflik antar pemilik lahan yang hilang di seberang sungai.
Baca juga : Gen Z dan Persoalan Lingkungan Hidup
Anak-anak Desa Sidodadi, Pagedangan, Malang, Jatim, mengikuti Bermain di Alam Bersama (BAB) yang diselenggarakan Komunitas Indonesia Hijau (KIH). Mereka diajak naik perahu di sungai Bajulmati untuk mengenal lingkungan sekitar. Foto : KIH
Desa Rawan Bencana
Dulu, Sungai Penguluran dan Sungai Bajulmati sedalam empat meter dengan lebar 10 meter. Sehingga nelayan setempat bisa melalui dengan perahu ke muara di pantai Ungapan. “Nelayan yag mencari ikan di Sendangbiru cukup menaiki perahu di belakang rumah. Sekarang dangkal, tidak bisa dilalui perahu,” kata Pupung.
Menurut keterangan sejumlah tokoh desa, dulu tanaman loa (Ficus racemosa) tumbuh berderet di sisi kanan-kiri sepanjang bantaran sungai. Daun pohon loa menjalar dan memayungi area sungai. Menghiasi bantaran sungai. “Dulu, daun pohon loa saling bertemu,” katanya.
Selain itu, tanaman mangrove juga tumbuh di muara. Mangrove tumbuh subur, menjadi rumah bagi aneka jenis ikan dan burung pantai. Sehingga, Komunitas Tani Maritim direkomendasikan menanam pohon loa dan mangrove. Dua tahun terakhir, timbul kesadaran kolektif warga menanam loa dan mangrove menjaga abrasi dan banjir.
“Sementara hutan di atas rusak. Terjadi penggundulan yang menyebabkan banjir,” ujarnya. Selain itu, sejumlah kawasan merupakan daerah karst yang berfungsi meresapkan air ke tanah. Mereka menanam loa dan mangrove berusaha menangkap karbon dan mengantisipasi perubahan iklim.
Sehingga KIH memberikan pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan sejak dini. Tujuannya, untuk mendukung usaha orang tuanya yang memitigasi permukiman dari ancaman banjir, dan abrasi. Sekalian itu agar anak-anak tidak asing dengan kegiatan yang dilakukan orang tuanya. (***)
Generasi Muda Bicara Perubahan Iklim
Sumber: Mongabay.co.id