- Kabar ada surat rekomendasi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam PT Bumi Rangkiang Sejahtera (BRS), membuat masyarakat adat di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, was-was. Pasalnya, izin itu berada di dalam lokasi izin perhutanan sosial beberapa nagari yang sudah keluar dari Gubernur Sumatera Barat seluas 4.282 hektar. Luas izin perusahaan itu sekitar 43.591 hektar.
- Berdasarkan data perhutanan sosial Sumbar, areal permohonan izin hutan alam itu ada di enam lokasi izin perhutanan sosial yang sudah mendapatkan keputusan gubernur. Hutan-hutan nagari itu adalah Pakan Rabaa, Pakan Rabaa Timur, Lubuk Gadang Selatan, Koto Baru, Pulakek Koto Baru, Pasia Talang Timur.
- Salpayandri, Direktur Institution Conservation Society (ICS) mendesak, pemerintah kaji ulang atau batalkan izin perusahaan kayu itu.
- Mata pencaharian penduduk Solok Selatan sebagian besar petani. Mereka lebih perlu lahan untuk bercocok tanam. Kalau melihat persentase lahan di Solok Selatan ini , sekitar 60% masuk Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), hak guna usaha 20%, sisanya baru areal budidaya masyarakat.
- Advertisement -
Kabar ada surat rekomendasi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam PT Bumi Rangkiang Sejahtera (BRS), membuat masyarakat adat di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, was-was. Pasalnya, izin itu berada di dalam lokasi izin perhutanan sosial beberapa nagari yang sudah keluar dari Gubernur Sumatera Barat seluas 4.282 hektar. Luas izin perusahaan itu sekitar 43.591 hektar.
“Kalau masuk kemudian tumpang tindih itu keliru. Kenapa bisa begitu? Kita menolak. Sosialisasinya nggak ada. Kehadirannya juga tidak jelas,” kata Attila Majidi, Datuk Bungsu selaku Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Solok Selatan.
Dia tak pernah mendapat kabar soal rekomendasi izin pengelolaan oleh perusahaan ini.
Berdasarkan data perhutanan sosial Sumbar, areal permohonan izin hutan alam itu ada di enam lokasi izin perhutanan sosial yang sudah mendapatkan keputusan gubernur. Hutan-hutan nagari itu adalah Pakan Rabaa, Pakan Rabaa Timur, Lubuk Gadang Selatan, Koto Baru, Pulakek Koto Baru, Pasia Talang Timur.
Tak hanya itu, sebagian besar areal merupakan eks HPH PT Andalas Merapi Timber (AMT) yang berakhir tiga tahun lalu, sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 20 Januari 2021. Luas AMT 28.840 hektar.
Dalam area ini juga ada izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan emas, PT Bumi Indonesia Bersinar (BIB) dengan izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 18 Oktober 2019. Izin ini keluar untuk perusahaan beroperasi dan pembangunan sarana penunjang seluas 348,62 hektar di hutan produksi terbatas Solok Selatan.
Attila bilang, perusahaan tambang emas lama tidak beroperasi.
“Waktu awal itu mereka hanya eksplorasi, sudah kami tolak, sekarang mereka tidak beroperasi,” katanya.
Dalam surat rekomendasi izin pengelolaan hutan itu di bagian tanda tangan tertulis atas nama Gubernur Sumatera Barat, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sumatera Barat, Maswar Dedi, pada 10 Februari 2021. Surat ditujukan pada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hutan Nagari Koto Baru, salah satu yang terancam masuk izin kayu. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia
Pada 22 Maret 2024, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari dan Direktorat Bina Usaha Pemanfaatan Hutan, KLHK mengirim surat ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sumbar. Isinya tentang informasi permohonan BRS.
Ada dua poin dalam surat ini. Pertama, BRS melalui surat Nomor 10115/AP/BRS/PBPHI/2024 tertanggal 3 Februari 2024 menyampaikan permohnan PBPH multiusaha kehutanan untuk usaha pemanfaatan kayu tumbuh alami dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) pada hutan produksi. Luas kurang lebih 35.671 hektar di Solok dan Solok Selatan. Berkas ini diunggah 3 Februari 2024.
Kedua, progres permohonan BRS dalam tahap verifikasi atau telaah areal oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari. Surat ini ditandatangani Erwan Sudaryanto dan ditembuskan ke Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari dan Kepala Dinas Kehutanan Sumbar.
Safri Hadi, Sekretaris Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Pakan Rabaa terkejut mendengar kabar rekomendasi IUPHHK perusahaan itu. “Sudah jelas kami tolak,” katanya.
Dia akan merapatkan hal ini bersama tokoh adat lain.
Sejak 2021, mereka sudah menolak penetapan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dari pemerintah karena mempersempit wilayah mereka, baik pemukiman atau hutan.
El, istrinya ingat betul LPHN Pakan Raba’a berdiri setelah terjadi galodo atau banjir bandang dari pebukitan. Dulu, katanya, lokasi itu konsesi PT Andalas Marapi Timber (AMT). “Terakhir galodo seperti itu tahun 1994.”
Kalau perusahaan kayu masuk lagi, kata Safri, besar kemungkinan galodo akan kembali terjadi. Hutan rusak dan perkampungan jadi korban.
Datuk Mantari, Ketua Karapatan Adat Nagari (KAN) Lubuk Gadang Selatan mengatakan, perusahaan tak ada sedikit pun sosialisasi ke mereka. “Baik ke masyarakat ataupun lembaga adat,” katanya.
Mereka akan tegas menolak, apalagi tak tidak ada sosialisasi.
Pengelolaan lahan masyarakat adat di Solok Selatan. Lahan pertanian di dataran rendah berkeliling hutan. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia
Kaji ulang
Salpayandri, Direktur Institution Conservation Society (ICS) menduga perusahaan yang baru ini serupa dengan AMT dahulu. “Mereka masukkan izin tapi kemudian pekerjaannya di sub-kan ke perusahaan lain. Jadi, perusahaan lain yang bekerja. Ambil kayu saja, setelah itu tidak ada lagi aktivitasnya,” katanya.
Modus itu, katanya, memungkinkan terjadi karena ada permainan perizinan di Pemerintah Sumatera Barat. Untuk itu, katanya, harus mengecek ke Dinas Kehutanan dan badan perizinan membuat rekomendasi izin itu bisa lolos.
Untuk itu, dia mendesak pemerintah kaji ulang atau batalkan izin perusahaan ini. “Secara ekonomi tidak bermanfaat bagi masyarakat sekitar,” katanya.
Yandri mengatakan, pengalaman dengan AMT, hanya orang-orang tertentu yang bisa kerja di sana dan kebutuhan tenaga kerja lokal sangat sedikit sekali.
Lagipula, katanya, mata pencaharian penduduk Solok Selatan lebih sebagian besar petani. Mereka lebih perlu lahan untuk bercocok tanam. Kalau melihat persentase lahan daerah pemekaran Solok ini, sekitar 60% masuk Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), hak guna usaha 20%, sisanya baru areal budidaya masyarakat.
“Mau tidak mau terjadi konflik antara pemerintah dan masyarakat serta masyarakat dan perusahaan. Mestinya eks HGU AMT itu masuk dalam skema perhutanan sosial,” katanya.
Secara ekologis, katanya, eks HGU AMT itu juga hunian satwa liar dilindungi, sekaligus masuk daerah aliran sungai (DAS) Batanghari. Izin dalam kawasan ini, katanya, bisa meningkatkan eskalasi konflik satwa dengan manusia.
“Meningkatkan interaksi negatif satwa dengan manusia.”
Hingga tulisan ini rilis, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sumatera Barat belum menanggapi permintaan wawancara Mongabay.
Hutan Nagari Koto Baru, Solok Selatan. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia
Dinas Kehutanan Sumbar juga dapat tembusan surat rekomendasi izin itu. “Coba tanyakan dulu dengan DPMPTSP,” kata Yozarwardi, Kepala Dinas Kehutanan Sumbar saat dihubungi via WhatsApp, Juni lalu. Jawaban sama saat Mongabay datang ke Dinas Kehutanan.
Buchari Bachter, Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Sumbar juga tercatat sebagai pemegang saham BRS mengatakan, izin resmi dari KLHK belum keluar.
“Kalau sudah keluar izin resmi dari Lingkungan Hidup, kita baru bisa bergerak,” katanya.
Sebagai investor, perusahaan sedang mengurus dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). “Kalau amdalnya sudah selesai dan lengkap baru kita urus restitusi. Itu bisa jadi PNBP (pendapatan negara bukan pajak) untuk daerah.”
Buchari mengatakan, pemerintah pusat, maupun daerah harus meningkatkan penerimaan negara. “‘Kan nanti kembali ke mereka lagi. Bisa jadi PAD (pendapatan asli daerah) dan bisa membantu APBD,” katanya.
Kalau izin BRS keluar, proses pengawasan hutan akan lebih gampang. “Karena secara legal sudah dikelola perusahaan. Kalau ada yang menebang atau menambang di situ bisa ditangkap. Kalau sekarang, nggak berizin semua orang mengklaim itu punya dia. Ini gejolak di masyarakat.”
Sebenarnya, kata Buchari, BRS juga melanjutkan izin lama. “Andalas Marapi Timber ya. Intinya kita mengikuti aturan di Kementerian Kehutanan.”
Kopi, salah satu hasil dari hutan nagari masyarakat adat di Solok Selatan. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia
********
Nagari Sei Buluh: Kami Bergantung Hidup dari Hutan
Sumber: Mongabay.co.id