- Farwiza Farhan, perempuan pegiat dan pelestari Hutan Leuser di Aceh, menerima Ramon Magsasay Award 2024 untuk kategori Kepemimpinan Baru (Emergent Leadership) yang diumumkan langsung dari Manila, Filipina pada tanggal 31 Agustus 2024 ini.
- Bagi Farwiza, penghargaan ini bukan hanya untuk dia pribadi tetapi juga orang-orang yang berjuang bersama menjaga dan menyelamatkan hutan Leuser. Baginya, penghargaan ini juga sebuah rekognisi terhadap kerja-kerja yang lebih luas.
- Dalam kerja-kerjanya, Farwiza melibatkan perempuan dalam berbagai lini. Program-program HAkA untuk dan dengan perempuan sangat efektif dan memotivasi. Perempuan mendapat pelatihan paralegal dan jurnalisme warga, terlibat dalam kewirausahaan mikro, dan diorganisir dalam kelompok-kelompok penjaga hutan. Perempuan memimpin patroli hutan untuk memantau perburuan dan pembalakan liar. Para perempuan ini didukung para pria yang juga dilatih dengan cara yang sama.
- Pada 31 Agustus ini, Yayasan Ramon Magsaysay Award mengumumkan lima penerima penghargaan dari lima negara. Selain Farwiza Farhan dari Indonesia, ada Nguyen Thi Ngoc Phuong dari Vietnam, lalu Miyazaki Hayao dari Jepang, dan Bhutan Karma Phuntsho. Penerima penghargaan dari Thailand kepada organisasi, Rural Doctors Movement (RDM), merupakan gabungan antara Rural Doctor Society (RDS) dan Rural Doctor Foundation (RDF).
Farwiza Farhan, begitu kaget ketika mendapat kabar kalau dirinya menjadi penerima Ramon Magsaysay Award 2024 kategori Kepemimpinan Baru (Emergent Leadership). Saat menerima telepon itu, dia sedang di kantor. Tanpa sadar, air matanya berlinang, terharu.
“Sejujurnya aku sangat shock dan kaget… Rasanya bingung dan campur aduk, my heart is so full, very touch and could not believe I’ved just heard. Apakah ini aku mimpi ya?” katanya dalam wawancara dengan Mongabay, 29 Agustus lalu.
Perempuan kelahiran Aceh ini sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan internasional berkat dedikasinya beraksi dalam penyelamatan dan pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh bersama organisasinya, Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HakA).
Sebut saja, penghargaan dari National Geographic Wayfinder Award 2022, Pritzker Emerging Environmental Genius Award 2021, TED Fellow 2021, Future for Nature Award 2017, dan Whitley Award 2016. Pada 2022, oleh TIME dia dinobatkan sebagai TIME 100 Next 2022.
- Advertisement -
Tahun ini, ‘Nobel Prize Asia’ pun dia raih.
Bagi Farwiza, penghargaan ini bukan hanya untuk dia pribadi tetapi juga orang-orang yang berjuang bersama menjaga dan menyelamatkan hutan Leuser. Baginya, penghargaan ini juga sebuah rekognisi terhadap kerja-kerja yang lebih luas.
“Aku tuh hanya sebagian kecil dari gerakan yang sangat besar ini. Ini adalah hal yang di luar sana patut dirayakan bersama-sama. Ini bukan award-ku tapi penghargaan bersama buat teman-teman yang ada di lapangan.Teman-teman yang ada di tingkat tapak, koalisi-koalisi bersama.”
Yayasan Magsaysay menilai, Farwiza punya pemahaman mendalam tentang hubungan penting antara alam dan kemanusiaan. Komitmennya terhadap keadilan sosial dan tanggung jawab sebagai warga negara melalui dedikasinya dengan hutan, masyarakat sekitar hutan, dan mengkampanyekan kesadaran lebih besar tentang perlunya melindungi jantung dan paru-paru alam yang kaya dan terancam punah di negara Indonesia dan Asia.
Lahir di Aceh pada 1986, Farwiza sejak kecil sudah jatuh cinta dengan keindahan alam hingga mendorongnya mendalami bidang biologi kelautan dan dunia konservasi. Namun kerusakan alam terus berlangsung, yang membuatnya tidak berdiam diri.
Aksi-aksi lingkungan dari lulusan program Doktor Antropologi Budaya dan Studi Pembangunan Radboud University Nijmegen, Belanda ini diawali kala bergabung dengan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), lembaga bentukan pemda Aceh untuk mengelola ekosistem Leuser. Kala itu, dia baru menyelesaikan program master manajemen lingkungan dari University of Queensland, Australia.
Ekosistem Leuser, meskipun sudah jadi Warisan Dunia UNESCO pada 2004 dan jadi kawasan yang dilindungi pada 2008, terus mengalami keterancaman dari deforestasi, infrastruktur, sampai komersialisasi. Kondisi makin parah kala penegakan hukum bagi pelanggar lemah.
Dalam perjalanan, BPKEL dibubarkan pada 2012. Farwiza dan sebagian rekan eks BPKEL tak mau menyerah dalam menjaga ekosistem Leuser. Mereka membentuk HAkA yang berupaya terus menjaga dan melestarikan hutan Leuser di 13 kabupaten dan kota di Aceh, Sumatera, dengan luas sekitar 2,25 juta hektar. Dia didapuk sebagai ketua.
Sejak berdiri, keberhasilan HAkA, antara lain, bersama-sama mendorong putusan pengadilan menjatuhkan denda US$26 juta kepada perusahaan sawit yang membakar hutan di ekosistem Leuser. Uang itu digunakan pemerintah untuk merehabilitasi lahan yang rusak. Kesuksesan lain juga ikut menghentikan pembangunan bendungan pembangkit listrik tenaga air yang mengancam habitat gajah.
Hutan Kawasan Ekosistem Leuser merupakan habitatnya sejumlah satwa liar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Hal penting lain walau kurang terlihat, adalah aksi HAkA memobilisasi masyarakat Aceh untuk melindungi lingkungan. HAkA melakukan ini dengan memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya ekosistem Leuser dengan memasukkannya dalam kurikulum sekolah dan universitas setempat.
HAkA juga menggunakan sistem informasi geografis dan perangkat pemantauan hutan lain untuk membantu pemerintah daerah, masyarakat, dan universitas dalam memantau kawasan hutan Aceh secara real time.
Yayasan ini juga mempromosikan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat untuk memastikan pengelolaan hutan lebih baik.
Bukan hal mudah bagi Farwiza bekerja di Aceh, yang dikenal sebagai daerah Islam konservatif. Tak jarang dia mendapatkan perlakuan diskriminatif.
“Misal, komentar ke aku soal jilbab dan pakaian. Saat datang ke rapat amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), kita gak bicara tentang ribuan hektar yang akan dialih fungsi dan ditebang, mereka bertanya, mana jilbabku, kenapa kelihatan rambutnya? Itu membuatku kesal.”
Hal seperti itu berulang, termasuk ketika dia masuk dalam TIME 100 Next 2022, di sosial media banyak menghujatnya karena menyebut sebagai perempuan Aceh tetapi tak pakai jilbab.Tantangan itu Farwiza hadapi dengan kuat untuk tetap menjadi dirinya dan terus beraksi melestarikan hutan.
Dia menyadari, perubahan tak terjadi dalam satu hari. Sabar, jadi salah satu resepnya menghadapi tekanan ini.
“Membuka dan melawan patriarki itu menurutku kadang-kadang [perlu] dilawan dengan kelembutan dan keikhlasan. Kita berusaha melihat perspektif mereka, mendengar dan membangun jembatan.,” katanya.
Farwiza merasa beruntung karena dikelilingi orang-orang yang mendukungnya, termasuk keluarga.
“Aku berada di keluarga yang bisa membuatku menjadi diri sendiri. Saat tidak memakai jilbab, tidak ada pertanyaan, juga saat belum menikah. [Kini] suami pun mendukung.”
Dia pun makin kuat berada di jalan ini bahkan mendukung perempuan-perempuan lain menjadi dirinya sendiri.
Ranger Mpu Uteun, penjaga hutan di Bener Meriah, Provinsi Aceh, yang seluruh anggotanya perempuan. Foto: Dok. HAkA
Pentingnya peran perempuan untuk konservasi alam
Dalam kerja-kerjanya, Farwiza melibatkan perempuan dalam berbagai lini. Program-program HAkA untuk dan dengan perempuan sangat efektif dan memotivasi. Perempuan dilibatkan dalam pelatihan paralegal dan jurnalisme warga, terlibat dalam kewirausahaan mikro, dan diorganisir dalam kelompok-kelompok penjaga hutan.
Perempuan memimpin patroli hutan untuk memantau perburuan dan pembalakan liar. Para perempuan ini didukung para pria yang juga dilatih dengan cara yang sama.
Menurut Farwiza, peran perempuan di Aceh itu sangat kuat, tetapi seringkali dikecilkan. Padahal, katanya, secara kultural, perempuan itu bekerja lebih keras.
Begitu pula, ketika bicara kerja terkait pelestarian hutan, perempuan bisa berperan di semua lini, termasuk untuk patroli di hutan.
“Terbayang, mereka patroli berhari-hari di hutan, bawa tas, berat, pasti terpikir secara fisik perempuan tidak bisa melakukan itu. Kenyataannya tidak seperti itu, perempuan punya cara mengambil peran yang penting bagaimana proses ini bisa lebih inklusif,” katanya.
Konservasi itu, katanya, perlu menjadi upaya lebih inklusif dan mengajak orang-orang di tingkat tapak yang sebenarnya lebih paham soal nilai-nilai konservasi. Mereka yang sebenarnya mengalami langsung ketika kerusakan lingkungan terjadi.
Dulu, ketika HAkA baru berdiri, hanya Farwiza perempuan seorang. Perlahan, jumlahnya terus bertambah.
“Kita ga melihat syarat harus laki-laki. Proses itu terekspansi ke masyarakat yang kita perkuat juga. Secara sadar, gerakan-gerakan itu kita lakukan, misal, membuat training para legal khusus ibu-ibu. Tujuannya agar partisipasinya lebih kuat.”
Bersama HAkA, dia akan terus berupaya melestarikan hutan Leuser.
Apa rencana ke depan? “Kita pengen bikin sekolah konservasi di Leuser. Kita masih riset-riset dan masih cari-cari bentuk fundraising dan lain-lain,” kata pemilik banyak hobi dari trekking, trail running, scuba diving, freediving, sampai open water swimming ini.
Ranger MPU Uteun Damaran Baru yang seluruh anggotanya perempuan, dibentuk untuk melindungi hutan. Foto: Dok. LPHK Damaran Baru
Perkuat gerakan masyarakat sipil
Kerja-kerja konservasi dan lingkungan, kata Farwiza, tidak bisa lepas dari kondisi sosial, ekonomi dan politik yang terjadi saat ini. Dia miris dengan kondisi Indonesia. Saat ini, katanya, Indonesia menghadapi ancaman luar biasa dampak kebobrokan sistem ekonomi politik, yang akan berdampak besar terhadap lingkungan.
“Ratusan ribu orang kehilangan hak atas lahan karena proyek-proyek strategis nasional yang didorong pemerintah. Itu baru orang. Kita belum memperhitungkan berapa satwa, berapa tanaman, berapa banyak fungsi kehidupan yang hilang dari proses itu.,” katanya.
Susah berharap pada pemerintah. Meski begitu, Farwiza tak pupus harapan, perbaikan masih bisa dilakukan. Masyarakat sipil termasuk generasi muda bisa bikin perubahan dengan lebih terkonsolidasi dan makin kuat berkolaborasi.
“Tidak ada dari kita yang bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Tidak ada yang dari kita yang melakukan itu dengan 100% sempurna. Tapi kalau kita solid, sama-sama mendorong isu-isu yang penting, aku percaya bahwa perubahan itu bisa terjadi.”
Farwiza, usai penyelamatan bayi gajah di Aceh. Foto: dokumen dari Yayasan Ramon Magsaysay Award
Pemenang Magsaysay Award 2024
Pada 31 Agustus ini, Yayasan Ramon Magsaysay Award mengumumkan lima penerima penghargaan dari lima negara. Selain Farwiza Farhan dari Indonesia, ada Nguyen Thi Ngoc Phuong dari Vietnam, lalu Miyazaki Hayao dari Jepang, Karma Phuntsho dari Bhutan, dan Thailand.
Penerima penghargaan dari Thailand adalah kelompok Rural Doctors Movement (RDM), yang merupakan gabungan antara Rural Doctor Society (RDS) dan Rural Doctor Foundation (RDF).
Penerima penghargaan dari Bhutan, Karma Phuntsho berkontribusi dalam menyelaraskan kekayaan masa lalu negaranya dengan beragam kesulitan dan prospek masa kini. Dia menginspirasi generasi muda Bhutan untuk bangga dengan warisan dan percaya diri akan masa depan mereka.
“Kharma menginspirasi komunitas untuk melihat ke belakang bahkan ketika mereka bergerak maju,” sebut Yayasan Ramon Magsaysay Award dalam keterangan resmi mereka.
Untuk Miyazaki Hayao, dia diakui atas komitmen seumur hidupnya dalam seni, khusus animasi, untuk menerangi kondisi manusia, terutama memuji pengabdiannya kepada anak-anak sebagai pembawa obor imajinasi. “Kepadanya, dia meneruskan cahaya dan percikan semangatnya.”
Penerima Magsaysay Award dari Thailand adalah gerakan dokter pedesaan. Mereka memperjuangkan masyarakat miskin di pedesaan, sehingga memastikan mereka tidak tertinggal di belakang ketika bangsa ini bergerak maju menuju kemakmuran ekonomi dan modernisasi yang lebih besar.
Untuk Nguyen Thi Ngoc Phuong, diakui karena semangat pelayanan publik dan pesan harapannya yang terus disebarkan kepada rakyat Vietnam.
Phuong menjalankan misi besar dalam hidupnya, yaitu mencari keadilan bagi para korban Agen Oranye di era perang. Dia membantu mereka yang menderita dengan segala cara yang memungkinkan. Phuong dan rekan-rekannya menemukan bahwa orang-orang di daerah yang disemprot Agen Oranye telah menderita cacat lahir tiga kali lebih banyak daripada di tempat lain.
Dia mempublikasikan penelitian ini dan bergabung dengan Asosiasi Korban Agen Oranye Dioksin Vietnam/VAVA). Dengan lebih dari 4.000 anggota, VAVA menuntut pertanggungjawaban atas kerusakan yang ditimbulkan oleh Agen Oranye dan memberikan bantuan kepada para korban.
Yayasan Ramon Magsaysay Award mengumumkan lima penerima penghargaan dari lima negara. Farwiza Farhan dari Indonesia, (tengah) lalu Nguyen Thi Ngoc Phuong dari Vietnam, lalu Miyazaki Hayao dari Jepang, dan Bhutan Karma Phuntsho. Penerima penghargaan dari Thailand kepada Rural Doctors Movement (RDM), merupakan gabungan antara Rural Doctor Society (RDS) dan Rural Doctor Foundation (RDF). Sumber: Mongabay
Cheche L. Lazaro, Ketua Yayasan Penghargaan Ramon Magsaysay mengatakan, para penerima Ramon Magsaysay Award tahun ini mengingatkan bahwa masa depan dibentuk oleh mereka yang berani dan mendedikasikan diri untuk mengubah visi ini jadi kenyataan.
“Dengan mengatasi tantangan sosial yang kritis dan memelopori solusi inovatif di komunitas, mereka menunjukkan kepada kita bahwa menciptakan perubahan positif bukan hanya sebuah kemungkinan, tetapi bentuk tanggung jawab bersama,” katanya.
Tahun ini, penghargaan Ramon Magsaysay menginjak tahun yang ke 66.
“Seiring dengan perayaan 66 tahun Ramon Magsaysay Award, kami memberikan penghargaan kepada para penerima tahun ini yang kegigihannya di tengah-tengah kondisi kesulitan, mencerminkan esensi dari penghargaan ini,” kata Susanna B. Afan, Presiden Yayasan Penghargaan Ramon Magsaysay.
Selama lebih dari enam dekade, katanya, penghargaan ini telah mengapresiasi mereka yang menantang status quo dengan integritas berani menghadapi ketidakadilan sistemik, mentransformasi sektor-sektor penting melalui solusi terobosan yang mendorong kemajuan masyarakat.
“Mengatasi masalah-masalah global yang mendesak dengan ketangguhan yang tak tergoyahkan.”
********
Para Perempuan Penjaga Hutan Aceh
Sumber: Mongabay.co.id