- Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, yang letaknya berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara, merupakan wilayah paling rawan terhadap kasus perdagangan orangutan sumatera [Pongo abelii].
- Wahyu Pratama, dari Lembaga Suar Galang Keadilan [LSGK], mengatakan berdasarkan hasil pemantauan, diketahui sebagian besar kasus perdagangan orangutan di Aceh berasal dari Kabupaten Aceh Tamiang.
- Panut Hadisiswoyo, Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre [YOSL-OIC], menjelaskan bahwa perburuan orangutan sumatera terus terjadi di Aceh, dikarenakan pelakunya memiliki jaringan kuat. Selain itu, pemburu juga memanfaatkan kesempatan konflik orangutan dengan masyarakat.
- Di Aceh dan Sumatera Utara, habitat orangutan sumatera berada di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Termasuk juga di Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang berada di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam.
Perdagangan orangutan sumatera [Pongo abelii] masih saja terjadi di Aceh. Kabupaten Aceh Tamiang, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara, merupakan wilayah paling rawan terhadap kasus kejahatan tersebut.
Pada Kamis [18/7/2024], personil Tipidter Satreskrim Polres Aceh Tamiang menangkap tiga pelaku berinisial MS [39], MI [24], dan RB [33], karena membawa satu individu anak orangutan di dalam tas.
“Para pelaku ditangkap di Desa Bundar, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang, saat hendak menjual satwa dilindungi itu,” jelas Kasat Reskrim Aceh Tamiang, AKP Rifki Muslim, Jumat [19/7/2024].
Menurut Rifki, para pelaku melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 21 Ayat 2 huruf a dan c dan Pasal 40 Ayat 2.
“Kami terus mengembangkan kasus ini.”
- Advertisement -
Kepala BKSDA Aceh, Ujang Wisnu Barata, menjelaskan bahwa orangutan jantan itu berumur tujuh tahun.
“Kami titipkan di Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera, Siamang, dan Beruang Madu di Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Lokasinya cukup representatif dan kondisi orangutan juga tidak terluka,” ujarnya, Rabu [24/7/2024].
Sebelumnya, Kamis [30/5/2024], unit Tipidter Satreskrim Polres Aceh Tamiang juga menangkap seorang warga Kota Langsa, A [25] di Desa Simpang Empat, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang.
“Saat diamankan, pelaku membawa bayi orangutan di ranselnya. Bayi itu dititipkan di Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan di Batu Mbelin, Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara,” jelas Rifki.
Baca: Mencermati Masa Depan Orangutan Sumatera
Anak orangutan bernama Pasto ini terpantau di Stasiun Penelitian Soraya, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Kasus perdagangan orangutan di Aceh Tamiang
Perdagangan orangutan sumatera di Aceh Tamiang, juga terjadi pada 2023. Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan [Balai Gakkum LHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] Wilayah Sumatera, menangkap seorang pelaku yang hendak menjual satu individu anak orangutan sumatera di Kota Langsa, Senin [3/7/2023].
Nanta Agustia alias NA [30], ditangkap di rumahnya di Dusun Firdaus, Kelurahan Alue Timue, Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa. Berdasarkan fakta persidangan, diketahui sejak 2022-2023, Nanta telah empat kali menjual anak orangutan. Semua didapatkan dari seorang warga yang tinggal di Aceh Tamiang.
“Pada 2022 beli satu dan 2023 beli tiga individu,” ungkapnya di persidangan, Senin [30/10/2023].
Baca: Hukuman Ringan, Perdagangan Orangutan Sumatera Tetap Terjadi
Anak orangutan ini diselamatkan dari perdagangan ilegal di Aceh Tamiang, Aceh, Rabu [10/2/2021]. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Rabu [13/9/2023], kasus perdagangan orangutan juga dibongkar Polres Aceh Tamiang. Empat pelaku diamankan, yaitu Ali Ahmad, Arigozali, M Amin, dan Irwansyah.
Di Pengadilan Negeri Kuala Simpang, Aceh Tamiang, Ali Ahmad, warga Desa Upah Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang, mengaku membeli anak orangutan dari seorang warga Kecamatan Tenggulun, Aceh Tamiang.
Setelah melalui proses persidangan, Rabu [3/1/2024], Majelis Hakim yang diketuai Tri Syawarni beserta hakim anggota Andi Taufik dan Arief Budiman, memvonis keempatnya bersalah.
Ali Ahmad, tiga tahun penjara, denda Rp100 juta, subsider tiga bulan penjara. Irwansyah, satu tahun penjara, denda Rp100 juta, subsider tiga bulan penjara. Arigozali, satu tahun sembilan bulan penjara, denda Rp100 juta, subsider tiga bulan penjara. M Amin, satu tahun tiga bulan penjara, denda Rp100 juta, subsider tiga bulan penjara.
Dari persidangan diketahui, Ali bersama temannya [Awaluddin dan Khairi Roza] pernah ditangkap Polda Riau, Senin [9/11/2015], karena menjual tiga anak orangutan yang dibawa dari Aceh Tamiang.
Berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor: 55/Pid.Sus.LH/2016/PN Pbr, Ali Ahmad dihukum 2,5 tahun penjara dan denda Rp 80 juta, subsider tiga bulan penjara.
Baca juga: Meski Dilindungi, Perdagangan Orangutan Sumatera Tidak Pernah Berhenti
Untuk mendapatkan anak orangutan, para pemburu biasanya membunuh induknya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Pelaku kejahatan orang yang sama
Wahyu Pratama, dari Lembaga Suar Galang Keadilan [LSGK], mengatakan berdasarkan hasil pemantauan, diketahui sebagian besar kasus perdagangan orangutan di Aceh berasal dari Kabupaten Aceh Tamiang.
“Ini harus menjadi pertimbangan penegak hukum, untuk mencegah terjadinya perburuan orangutan di daerah ini,” terangnya, Jumat [16/8/2024].
Menurut Wahyu, Aceh Tamiang harus mendapat perhatian serius.
“Ini penting, karena para ahli berpendapat untuk mendapatkan bayi atau anak orangutan, induknya harus dibunuh. Artinya, saat satu anak orangutan diperjualbelikan maka induknya telah dibunuh oleh pemburu.”
Wahyu khawatir, jangan-jangan pemburunya adalah orang yang sama. Setelah buruan didapat, lalu diserahkan ke beberapa penampung untuk dijual.
“Asal orangutan sangat penting ditelusuri, selain itu penegak hukum harus menangkap pembeli akhir. Ini untuk mencegah terjadinya kasus yang sama,” jelasnya.
Anak orangutan yang diselamatkan di Subulussalam, Aceh., pada September 2023. Foto: Dok. BKSDA Aceh
Panut Hadisiswoyo, Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre [YOSL-OIC], sebelumnya kepada Mongabay menjelaskan bahwa perburuan orangutan sumatera terus terjadi di Aceh, dikarenakan pelakunya memiliki jaringan kuat.
“Jaringan mereka mulai dari desa, kabupaten, hingga antar-provinsi,” jelasnya, beberapa waktu lalu.
Perburuan orangutan sumatera, umumnya terjadi di kawasan hutan terfragmentasi. Selain itu, pemburu juga memanfaatkan kesempatan konflik orangutan dengan masyarakat.
“Orangutan yang tersesat atau terperangkap di kebun menjadi target utama pemburu. Apalagi bila memiliki bayi.”
Mudahnya akses pemburu menuju hutan juga mengundang malapetaka bagi orangutan.
“Umumnya, anak orangutan atau satwa lain dari Aceh dijual ke Sumatera Utara, selanjutnya dibawa ke daerah lain di Indonesia bahkan diselundupkan ke luar negeri,” terang Panut.
Seekor induk orangutan bersama anaknya terlihat di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Orangutan sumatera merupakan satu dari tiga spesies orangutan yang ada di Indonesia, selain orangutan tapanuli [Pongo tapanuliensis] dan orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus].
Para ahli memperkirakan, di masa lalu, orangutan sumatera tersebar hingga ke Sumatera Barat. Namun saat ini, habitat alaminya hanya ada di Aceh, Sumatera Utara, dan di kawasan hutan perbatasan Jambi dengan Riau.
Di Aceh dan Sumatera Utara, habitat orangutan sumatera berada di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Termasuk juga di Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang berada di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam.
Perdagangan Orangutan Sumatera Terus Terjadi, Ini Buktinya
Sumber: Mongabay.co.id