Banda Aceh– Aceh memiliki tanah yang subur dan dapat ditumbuhi banyak tanaman yang mampu mengangkat pendapatan daerah. Tak terkecuali tembakau yang tumbuh subur di beberapa wilayah, salah satunya di Desa Lam Beugak, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar.
Chief Executive Officer (Ceo) PT Hawa Makmu Beurata, Taufikul Hadi, merupakan pengusaha olahan tembakau yang dijadikan Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Desa Lam Beugak. Taufik mengaku terinspirasi dari ayahnya yang merupakan petani tembakau sejak 1982.
“Terinspirasi dari sosok sang ayah yang sudah menjadi petani tembakau dari tahun 1982 di Desa Lam Beugak,” ujarnya, Senin (19/2/2024).
Taufikul Hadi yang akrab disapa Taufik menambahkan, selain terinspirasi dari sang ayah, pendapatan petani di desanya yang terbilang masih minim dikarenakan tidak ada standarisasi hasil panen tembakau maupun harga yang sesuai mendorong Taufik membangun perusahaan yang semula merupakan kelompok tani.
“Semula petani tembakau menjual hasil panennya kepada pengepul dengan harga jauh di bawah standar, jadi kami ingin menciptakan standarisasi baik hasil panen maupun harga jual dari petani,” tambah Taufik.
PT Hawa Makmu Beurata terbentuk pada 2022. Pada tahun awal berdirinya, Taufik mengaku menampung 350 kilogram tembakau kering dari petani Desa Lam Beugak. Dalam kurun waktu satu tahun, sebanyak 17 dari 30 petani yang ada di desa kini menjadi mitra perusahaannya.
“17 dari 30 petani tembakau di desa Lam Beugak kini menjadi mitra, dan kami akan meningkatkan produksi pada tahun ini,” ujar Taufik menerangkan.
- Advertisement -
Taufik mengatakan 1 hektar lahan mampu menghasilkan 2 ton tembakau kering. Dari hasil panen tersebut kemudian dipilah sesuai kualitas, yang terbaik sebanyak 30 persen akan dibeli olehnya dan sisanya akan dijual kepada pengepul oleh petani untuk dijadikan “Bakong Asoe” yang merupakan rokok tradisional di Aceh.
“Petani yang bermitra dengan kami menggarap 7 hektar, kami membeli 30 persen dari hasil panen. Sebelebihnya petani akan menjual kepada tengkulak untuk dijadikan Bakong Asoe,” ujarnya.
Di pabriknya Taufik mempekerjakan enam orang wanita sebagai pelinting rokok, yang dipekerjakannya selama 20 hari dalam sebulan. Hari kerja bergantung pada produksi dan ketersediaan bahan baku yang terbatas, terlebih dengan beredarnya beberapa merek rokok ilegal di beberapa wilayah di Aceh sehingga menghambat laju pemasaran rokok hasil perusahaan.
“Kita hanya produksi 20 hari dalam sebulan, dikarenakan persaingan dengan rokok ilegal dan keterbatasan bahan baku jadi kita hanya memproduksi 3.000 batang perhari,” ujarnya.
Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Aceh Besar, Amiruddin, mengatakan Aceh Besar memiliki sebaran lahan pertanian untuk tembakau seluas 1.000 hektar. Sementara Desa Lam Beugak memiliki lahan seluas 30 hektare yang digarap oleh kelompok petani.
Amiruddin mengatakan perlu adanya hubungan yang baik antara produsen hasil tembakau dan para petani tembakau yang ada di Aceh. Menurutnya proses tersebut bisa dilakukan dengan sosialisasi, pembagian bibit, pembagian pupuk dan pemberian bantuan-bantuan lain sehingga mampu menciptakan petani yang paham cara distribusi hasil pertaniannya. (Chairil Aqsha/Lensakita.com)