BANDA ACEH – Sejumlah jurnalis tergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh mengikuti diskusi soal bahasa jurnalistik dalam meliput isu kemanusiaan, terutama pengungsi luar negeri. Kegiatan ini digelar di Muharram Journalism College (MJC), Lueng Bata, Banda Aceh, Sabtu (14/10/2023).
Narasumber diskusi itu Faisal Rahman dari UNHCR, Sophia Listriani dari Universitas Syiah Kuala, dan Adi Warsidi CEO acehkini mewakili jurnalis. Sementara itu, turut hadir Ati Nurbaiti, mantan Ketua AJI Indonesia.
Koordinator Projek JRS Indonesia Aceh, Hendra Saputra, mengatakan kegiatan ini digelar untuk berdiskusi terkait sistem penanganan pengungsi di Aceh oleh UNHCR, serta bagaimana mengemas pemberitaan yang sejalan dengan isu kemanusiaan .
Melalui diskusi, katanya, diharapkan akan menemukan diksi yang selaras namun tidak menghilangkan makna dari bahasa jurnalistik itu sendiri.
Selain itu, lewat diskusi akan didapat gambaran dari UNHCR mengapa Rohingya yang tiba-tiba muncul di Aceh kemudian disebut pengungsi. Begitu juga soal diksi atau frasa dalam sebuah berita yang disiarkan oleh media massa tentang pengungsi ini
“Wacana tersebut kemudian mendapat sambutan positif dari AJI Banda Aceh untuk bekerjasama,” katanya.
Ketua AJI Banda Aceh Juli Amin mengatakan dengan acara seperti ini dapat meningkatkan kapasitas jurnalis dalam meliput isu pengungsi luar negeri di Aceh, seperti pengungsi Rohingya yang kerap terdampar di Aceh.
- Advertisement -
“Selama ini masih ada jurnalis di Aceh yang menggunakan diksi-diksi atau frasa yang tidak sinkron dengan pengungsi Rohingya, jadi dengan diskusi seperti tadi akan mendapat tambahan ilmu,” kata Juli Amin.
Dalam diskusi tadi mengemuka istilah apa yang sesuai untuk orang Rohingya yang terusir dari tanah airnya di Myanmar, lalu terdampar di Aceh. Pemberitaan selama ini, ada yang menyebut mereka imigran hingga pendatang ilegal.
“Sebenarnya apa yang layak ditabalkan pada orang-orang Rohingya ini, dan tadi diketahui kemudian bahwa mereka layak disebut pengungsi karena mereka terpaksa meninggalkan negerinya karena konflik,” ujarnya.
Selain itu, para jurnalis juga membahas beberapa kata lain semisal “kabur” atau “lari” saat pengungsi Rohingya meninggalkan kamp penampungan di Aceh dengan sembunyi-sembunyi.
Jurnalis, kata dia, mendapatkan titik temu bahwa ada bahasa jurnalistik yang tidak dapat diubah begitu saja. “Sebab, jurnalis dituntut mengemas informasi yang mudah dipahami publik, penggunaan diksi-diksi baru akan membingungkan publik,” pungkasnya.[]